Langsung ke konten utama

The Bicycle Thief (Italia, 1948)




Pada pasca Perang Dunia II di Roma, Antonio Ricci akhirnya mendapat pekerjaan yang telah lama ia tunggu sebagai penempel poster. Namun, untuk mendapatkan pekerjaan tersebut ia harus mempunyai sepeda. Mendengar hal itu, istri Antonio menjual seperainya untuk bisa membeli sepeda. Setelah membeli sepeda Antonio siap untuk bekerja. Namun di hari pertama bekerja sepedanya dicuri. Dia mengejar pencuri itu, tetapi ia berhasil kabur.

Antonio tahu akibatnya jika sepedanya hilang dan berusaha mencari pencurinya ke pelosok Roma. Dalam pencariannya, ia ditemani oleh putranya yang bernama Bruno, ia mengerti keadaan ayahnya yang putus asa. Setelah berusaha mencari, Antonio yakin bahwa ia telah menemukan si pencuri. Diduga pencuri tersebut hidup dalam situasi yang sama seperti Antonio sendiri. Saat Antonio menuduhnya, tetangga, teman dan keluarga si pencuri melindunginya dan kemudian Bruno memanggil polisi. Antonio gagal menuduhnya sebagai pencuri karena ia tidak memiliki bukti. Mereka berdua pergi dari tempat itu dengan rasa kesal.

Karena Antonio tidak tahu apa yang harus dilakukannya, tersirat di pikirannya untuk mencuri sepeda. Namun, usahanya digagalkan oleh orang-orang yang sedang melintas. Saat akan dibawa ke kantor polisi, sang pemilik sepeda memaafkannya. Antonio dan Bruno pergi dengan rasa putus asa dan kesedihan yang mendalam. (sumber dari Wikipedia)

Film ini menggambarkan sebuah kekecewaan yang mendalam. Sebuah emosi yang benar-benar menghanyutkan penonton sehingga seolah ikut merasakan kehilangan seperti apa yang dialami oleh Antonio. Kekecewaan itu tak terbalas dengan sebuah solusi yang melegakan, justru berakhir dengan kehampaan dan kesedihan. Lagi-lagi film Italia membuat sebuah akhir yang menyesak dan menggantung. Tapi sekali lagi justru dengan alur seperti inilah film-film Italia selalu menyisakan kenangan yang tak terlupakan. 


Salam Sinema!!


Komentar

Postingan populer dari blog ini

The Father (2020), Subjek yang Terlupa

  Anthony menghadapi permasalahan penuaan yang cukup ironis. Ia dibingungkan dengan memorinya sendiri. Ia tidak dapat lagi membedakan siapa, di mana, kapan, dan bagaimana kehidupannya berlalu. Semuanya kacau. Tiba-tiba saja anaknya yang pamit ke Paris muncul dengan sosok yang berbeda. Tiba-tiba saja ia menjumpai sosok menantu yang entah dari mana asalnya. Tiba-tiba saja ia berada di apartemen yang berbeda. Tiba-tiba saja ia tinggal di sebuah panti bersama para perawat. Dalam kebingungan, muncul rasa jengkel, marah, sedih, bahagia, dan pasrah. Film yang sederhana dalam tema namun tidak sederhana dalam merangkai cerita. Bahkan hingga akhir film, penonton pun tidak dapat menemukan mana kehidupan Anthony yang sesungguhnya. Semuanya tumpang tindih campur aduk menjadi satu. Menertawakan Anthony berarti juga menertawakan diri kita sendiri. Menemukan kembali subjek itu memang tidak mudah. Kalau Lacan menerangkan perjumpaan bayi dengan cermin untuk menemukan realitas dirinya, film ini menggamba

Nomadland (2020), Kisah Para Pencari Surga

  Bukankah manusia tercipta pertama kali di alam kebebasan dan tidak berumah? Demikianlah bagaimana film ini mencoba untuk menggambarkan para “pengembara” di Amerika Serikat yang kembali menghayati kehidupan nan bebas bersama mobil van mereka. Bangunan rumah hanyalah kurungan yang mendomestikkan manusia sehingga seringkali kehilangan naluri “kemanusiaannya”. Para pengembara ( nomadland ) di Amerika Serikat membangun sebuah komunitas kekeluargaan yang sangat intim dan dinamis. Sebuah kehidupan yang tidak lazim. Namun inilah gerakan subkultur yang menjadi kritik kemapanan manusia rumahan. Mereka tidak lagi melihat suatu benda dari batasan nilai mata uang, namun dari nilai kenangan yang tak terbatas. Dari sinilah mereka menukarkan barang yang mereka miliki dengan barang sesama pengembara. Mereka bertukar narasi yang tak terbatas oleh nilai mata uang. Oleh karenanya mereka memilih disebut sebagai “ houseless ”. Bukan “ homeless ”. Mereka memang tidak memiliki bangunan untuk ditinggali. Nam

Memories Of Matsuko (2006), Warna-warni Kegelapan

  Siapa yang menyangka, Matsuko, gadis cantik bersuara merdu menjalani kehidupan yang kelam? Berawal dari profesinya sebagai seorang guru SMP yang menghadapi kenakalan anak didiknya, Matsulo harus meninggalkan sekolahan. Ia pun menjadi penyanyi cafe, wanita penghibur, penata rambut, hingga sindikat narkoba. Ia berpindah dari kekasih satu kepada kekasih yang lain. Ia menikmati walau tersakiti. Adalah Sho, keponakan Matsuko yang merangkai cerita memori kehidupan bibinya setelah meninggal di usia 55 tahun. Ia mengumpulkan kepingan-kepingan memori Matsuko sepanjang kariernya hingga dibunuh dengan tragis. Kehidupan yang gelap dihadirkan dengan gemerlap melalui film ini. Menyaksikan film ini mengingatkan kita akan film Amelie. Cerita yang kelam dihadirkan dengan penuh keceriaan. Tanpa sadar film ini mengajak kita untuk melihat segala sesuatu dengan keceriaan. Dalam situasi apapun Matsuko menyelipkan “wajah jelek”nya untuk menghibur kita. Perjalanan hidup memang gelap dan berliku, namun sem