Langsung ke konten utama

Joker, Hegemoni Kaum Sampah




Sampah itu memang kotor dan menjijikkan. Tapi siapakah yang membuat sampah itu ada? Sampah hadir karena adanya katarsis. Pemisahan yang suci dengan yang najis. Pemisahan antara yang berguna dan yang tidak berguna, untuk membuat kemapanan. Film Joker berkisah mengenai munculnya "sampah" di tengah kota Gotham. Sampah itu adalah Arthur Fleck. Ia menjadi liar karena penyakit kejiwaan pseudobulbar affect (PBA) yang merangsangnya untuk tertawa terbahak-bahak tanpa sebab.

Berulangkali Arthur memiliki harapan, tapi berulangkali harapannya kandas. Ia berharap menjadi badut penghibur, tapi akhirnya ia malah dipecat. Ia berharap tetangga apartemennya menerima sebagai kekasih, tapi ternyata itu hanyalah delusi semata. Ia berharap mendapatkan jaminan pengobatan gratis dari pemerintah, tapi tiba-tiba saja pemerintah menghentikan jaminan tersebut. Hingga ketika ia berharap sosok ibu yang ia rawat dengan ketulusan menjadi penghibur dirinya, ternyata ia menjumpai catatan masa kecil yang kelam. Ia ternyata anak pungut yang diperlakukan secara kejam oleh ibu tirinya.

Arthur pun terbuang dan menjadi sampah. Tapi ternyata ia bukan sampah yang menerima begitu saja keadaan yang pahit tersebut. Ia bangkit dan melawan, menjadi sosok “superhero” : JOKER. Ia ternyata tidak sendirian. Joker meng-hegemoni kaum proletar kota Gotham, melawan kemapanan. Sampah itu menumpuk, menggunung, menjadi raksasa yang siap meletus, meledak menghamburkan kuman penyakit.

Film Joker menyisakan perenungan yang dalam. Sampah itu tidak bisa dimusnahkan. Membersihkan kota hanyalah memindahkan sampah ke ruang yang kosong. Kota terlihat bersih, tapi sampah yang tersingkir suatu saat akan menjadi ancaman. Mengatasi sampah bukan dengan membuang dan menyingkirkannya. Mengatasi sampah sebaiknya dengan mendaurnya menjadi sesuatu yang bisa kita gunakan kembali. Mengatasi “sampah” adalah dengan menghidupkan harapannya kembali. Seperti merangkul mereka yang kalah dan terluka untuk menjadi bagian yang berharga dalam kehidupan bersama.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

The Father (2020), Subjek yang Terlupa

  Anthony menghadapi permasalahan penuaan yang cukup ironis. Ia dibingungkan dengan memorinya sendiri. Ia tidak dapat lagi membedakan siapa, di mana, kapan, dan bagaimana kehidupannya berlalu. Semuanya kacau. Tiba-tiba saja anaknya yang pamit ke Paris muncul dengan sosok yang berbeda. Tiba-tiba saja ia menjumpai sosok menantu yang entah dari mana asalnya. Tiba-tiba saja ia berada di apartemen yang berbeda. Tiba-tiba saja ia tinggal di sebuah panti bersama para perawat. Dalam kebingungan, muncul rasa jengkel, marah, sedih, bahagia, dan pasrah. Film yang sederhana dalam tema namun tidak sederhana dalam merangkai cerita. Bahkan hingga akhir film, penonton pun tidak dapat menemukan mana kehidupan Anthony yang sesungguhnya. Semuanya tumpang tindih campur aduk menjadi satu. Menertawakan Anthony berarti juga menertawakan diri kita sendiri. Menemukan kembali subjek itu memang tidak mudah. Kalau Lacan menerangkan perjumpaan bayi dengan cermin untuk menemukan realitas dirinya, film ini menggamba

Nomadland (2020), Kisah Para Pencari Surga

  Bukankah manusia tercipta pertama kali di alam kebebasan dan tidak berumah? Demikianlah bagaimana film ini mencoba untuk menggambarkan para “pengembara” di Amerika Serikat yang kembali menghayati kehidupan nan bebas bersama mobil van mereka. Bangunan rumah hanyalah kurungan yang mendomestikkan manusia sehingga seringkali kehilangan naluri “kemanusiaannya”. Para pengembara ( nomadland ) di Amerika Serikat membangun sebuah komunitas kekeluargaan yang sangat intim dan dinamis. Sebuah kehidupan yang tidak lazim. Namun inilah gerakan subkultur yang menjadi kritik kemapanan manusia rumahan. Mereka tidak lagi melihat suatu benda dari batasan nilai mata uang, namun dari nilai kenangan yang tak terbatas. Dari sinilah mereka menukarkan barang yang mereka miliki dengan barang sesama pengembara. Mereka bertukar narasi yang tak terbatas oleh nilai mata uang. Oleh karenanya mereka memilih disebut sebagai “ houseless ”. Bukan “ homeless ”. Mereka memang tidak memiliki bangunan untuk ditinggali. Nam

Memories Of Matsuko (2006), Warna-warni Kegelapan

  Siapa yang menyangka, Matsuko, gadis cantik bersuara merdu menjalani kehidupan yang kelam? Berawal dari profesinya sebagai seorang guru SMP yang menghadapi kenakalan anak didiknya, Matsulo harus meninggalkan sekolahan. Ia pun menjadi penyanyi cafe, wanita penghibur, penata rambut, hingga sindikat narkoba. Ia berpindah dari kekasih satu kepada kekasih yang lain. Ia menikmati walau tersakiti. Adalah Sho, keponakan Matsuko yang merangkai cerita memori kehidupan bibinya setelah meninggal di usia 55 tahun. Ia mengumpulkan kepingan-kepingan memori Matsuko sepanjang kariernya hingga dibunuh dengan tragis. Kehidupan yang gelap dihadirkan dengan gemerlap melalui film ini. Menyaksikan film ini mengingatkan kita akan film Amelie. Cerita yang kelam dihadirkan dengan penuh keceriaan. Tanpa sadar film ini mengajak kita untuk melihat segala sesuatu dengan keceriaan. Dalam situasi apapun Matsuko menyelipkan “wajah jelek”nya untuk menghibur kita. Perjalanan hidup memang gelap dan berliku, namun sem