Langsung ke konten utama

Gone With The Wind, Merayakan Cinta yang Datang dan Pergi Tanpa Permisi




Di tengah kehancuran kehidupan paska perang saudara di Amerika tahun 1861, Scarlett O’hara berjuang membangun kembali reruntuhan dengan semangat yang tersisa. Pulihnya kehidupan ekonomi dan kehidupan sosial keluarga O’hara diwarnai tumbuhnya rasa cinta Scarlett kepada.... kepada siapa ya? Ya memang perasaan cinta Scarlett sampai di akhir film tidaklah begitu jelas kepada siapa. Ini mirip-mirip sinetron Si Doel Anak Sekolahan di mana Doel menjatuhkan hati di dua harapan, Sarah dan Zaenab. Scarlett pun juga demikian. Tidak begitu jelas kepada pria yang mana hatinya berlabuh (waduh...). Sisi feminisme dalam film ini memang sangatlah kuat. Di satu sisi mengisahkan Scarlett yang tegar dan tahan banting dalam menghadapi masalah sosial ekonomi tapi di sisi yang lain menghadirkan Scarlett yang ragu-ragu akan rasa cintanya sendiri.

Film ini adalah film yang fenomenal karena hadir pada saat yang sangat tepat. Tahun 1939 adalah saat di mana Eropa sedang memanas dengan bergolaknya pertempuran antara Jerman dengan sekutu sehingga berujung pertempuran Britania sebagai awal munculnya Perang Dunia II. Pada saat itulah Amerika memberikan hiburan yang menyegarkan melalui film Gone with The Wind. Momen inilah yang melambungkan film Gone with the Wind sebagai film klasik nan fenomenal di tengah kemelut perang dunia kedua.

Tiga jam empatpuluh sekian menit adalah durasi yang sangat panjang serta melelahkan. Namun dengan hadirnya cerita yang padat, sedikit mengurangi kejenuhan. Satu lagi kekuatan dari film ini yaitu hadirnya seorang pembantu kulit hitam yang sangat setia mengabdi kepada keluarga O’hara. Dialah Mammy yang diperankan dengan sangat baik oleh Hattie McDaniel. Karakter pembantu yang cerewet, judes, dan kadang suka ngambeg ini memang cukup menghibur. Bahkan bisa dikatakan tokoh Mammy adalah roh sesungguhnya dalam film ini karena karakternya yang sangat membekas. Menyaksikan film ini adalah menikmati kehangatan relasi antara para juragan kulit putih dengan para pembantu kulit hitam. Bukan hubungan kaku seperti ndoro dengan jongos, tapi relasi yang karib dan saling menguatkan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

The Father (2020), Subjek yang Terlupa

  Anthony menghadapi permasalahan penuaan yang cukup ironis. Ia dibingungkan dengan memorinya sendiri. Ia tidak dapat lagi membedakan siapa, di mana, kapan, dan bagaimana kehidupannya berlalu. Semuanya kacau. Tiba-tiba saja anaknya yang pamit ke Paris muncul dengan sosok yang berbeda. Tiba-tiba saja ia menjumpai sosok menantu yang entah dari mana asalnya. Tiba-tiba saja ia berada di apartemen yang berbeda. Tiba-tiba saja ia tinggal di sebuah panti bersama para perawat. Dalam kebingungan, muncul rasa jengkel, marah, sedih, bahagia, dan pasrah. Film yang sederhana dalam tema namun tidak sederhana dalam merangkai cerita. Bahkan hingga akhir film, penonton pun tidak dapat menemukan mana kehidupan Anthony yang sesungguhnya. Semuanya tumpang tindih campur aduk menjadi satu. Menertawakan Anthony berarti juga menertawakan diri kita sendiri. Menemukan kembali subjek itu memang tidak mudah. Kalau Lacan menerangkan perjumpaan bayi dengan cermin untuk menemukan realitas dirinya, film ini menggamba

Nomadland (2020), Kisah Para Pencari Surga

  Bukankah manusia tercipta pertama kali di alam kebebasan dan tidak berumah? Demikianlah bagaimana film ini mencoba untuk menggambarkan para “pengembara” di Amerika Serikat yang kembali menghayati kehidupan nan bebas bersama mobil van mereka. Bangunan rumah hanyalah kurungan yang mendomestikkan manusia sehingga seringkali kehilangan naluri “kemanusiaannya”. Para pengembara ( nomadland ) di Amerika Serikat membangun sebuah komunitas kekeluargaan yang sangat intim dan dinamis. Sebuah kehidupan yang tidak lazim. Namun inilah gerakan subkultur yang menjadi kritik kemapanan manusia rumahan. Mereka tidak lagi melihat suatu benda dari batasan nilai mata uang, namun dari nilai kenangan yang tak terbatas. Dari sinilah mereka menukarkan barang yang mereka miliki dengan barang sesama pengembara. Mereka bertukar narasi yang tak terbatas oleh nilai mata uang. Oleh karenanya mereka memilih disebut sebagai “ houseless ”. Bukan “ homeless ”. Mereka memang tidak memiliki bangunan untuk ditinggali. Nam

Memories Of Matsuko (2006), Warna-warni Kegelapan

  Siapa yang menyangka, Matsuko, gadis cantik bersuara merdu menjalani kehidupan yang kelam? Berawal dari profesinya sebagai seorang guru SMP yang menghadapi kenakalan anak didiknya, Matsulo harus meninggalkan sekolahan. Ia pun menjadi penyanyi cafe, wanita penghibur, penata rambut, hingga sindikat narkoba. Ia berpindah dari kekasih satu kepada kekasih yang lain. Ia menikmati walau tersakiti. Adalah Sho, keponakan Matsuko yang merangkai cerita memori kehidupan bibinya setelah meninggal di usia 55 tahun. Ia mengumpulkan kepingan-kepingan memori Matsuko sepanjang kariernya hingga dibunuh dengan tragis. Kehidupan yang gelap dihadirkan dengan gemerlap melalui film ini. Menyaksikan film ini mengingatkan kita akan film Amelie. Cerita yang kelam dihadirkan dengan penuh keceriaan. Tanpa sadar film ini mengajak kita untuk melihat segala sesuatu dengan keceriaan. Dalam situasi apapun Matsuko menyelipkan “wajah jelek”nya untuk menghibur kita. Perjalanan hidup memang gelap dan berliku, namun sem