Langsung ke konten utama

Monsieur Vincent (Perancis 1947)



Monsieur Vincent adalah film yang mengangkat kisah nyata perjuangan seorang Pastor bernama Vincent de Paul pada abad ke-17 di daerah Paris, Perancis. Ia begitu prihatin menyaksikan kemiskinan yang melanda tempat di mana ia melayani. Niat baiknya untuk menolong mereka yang kekurangan mendapatkan tentangan dari kaum bangsawan. Vincent ksulitan mendapatkan bantuan dana karena tidak ada yang peduli dengan masalah kemiskinan. Hingga akhirnya Vincent mendapatkan bantuan dari dermawan kumpulan kaum wanita yang peduli dengan kemiskinan. Vincent setiap hari menyediakan roti dan sup bagi mereka yang jompo dan miskin. Ia pun mencoba membuat tempat penampungan sederhana bagi orang-orang miskin yang sakit. Akan tetapi lama-kelamaan kaum wanita yang menjadi donatur utama pelayanan Vincent pun merasakan keberatan. Mereka beranggapan mereka yang mati karena kemiskinan adalah sudah menjadi takdir Allah karena dosa yang mereka tanggung. Kaum wanita sebagai donatur tersebut menganggap Vincent telah kehilangan akal sehatnya. Meskipun demikian Vincent tetap setia dengan pelayanannya bagi orang-orang miskin, sampai akhirnya ia pun merasakan tubuhnya yang sudah mulai melemah.

Inilah biografi yang mengingatkan akan tugas sebenarnya dari gereja, yakni mewujud nyatakan kasih Allah. Mengasihi itu memang tidaklah mudah. Mengasihi itu membutuhkan kesetiaan di tengah penolakan. Film ini sangat inspiratif dan menggugah kita (bukan hanya gereja, tetapi siapapun umat Allah) untuk membuka mata kita dan peduli terhadap mereka yang membutuhkan.

Salam Sinema!!!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

The Father (2020), Subjek yang Terlupa

  Anthony menghadapi permasalahan penuaan yang cukup ironis. Ia dibingungkan dengan memorinya sendiri. Ia tidak dapat lagi membedakan siapa, di mana, kapan, dan bagaimana kehidupannya berlalu. Semuanya kacau. Tiba-tiba saja anaknya yang pamit ke Paris muncul dengan sosok yang berbeda. Tiba-tiba saja ia menjumpai sosok menantu yang entah dari mana asalnya. Tiba-tiba saja ia berada di apartemen yang berbeda. Tiba-tiba saja ia tinggal di sebuah panti bersama para perawat. Dalam kebingungan, muncul rasa jengkel, marah, sedih, bahagia, dan pasrah. Film yang sederhana dalam tema namun tidak sederhana dalam merangkai cerita. Bahkan hingga akhir film, penonton pun tidak dapat menemukan mana kehidupan Anthony yang sesungguhnya. Semuanya tumpang tindih campur aduk menjadi satu. Menertawakan Anthony berarti juga menertawakan diri kita sendiri. Menemukan kembali subjek itu memang tidak mudah. Kalau Lacan menerangkan perjumpaan bayi dengan cermin untuk menemukan realitas dirinya, film ini menggamba

Nomadland (2020), Kisah Para Pencari Surga

  Bukankah manusia tercipta pertama kali di alam kebebasan dan tidak berumah? Demikianlah bagaimana film ini mencoba untuk menggambarkan para “pengembara” di Amerika Serikat yang kembali menghayati kehidupan nan bebas bersama mobil van mereka. Bangunan rumah hanyalah kurungan yang mendomestikkan manusia sehingga seringkali kehilangan naluri “kemanusiaannya”. Para pengembara ( nomadland ) di Amerika Serikat membangun sebuah komunitas kekeluargaan yang sangat intim dan dinamis. Sebuah kehidupan yang tidak lazim. Namun inilah gerakan subkultur yang menjadi kritik kemapanan manusia rumahan. Mereka tidak lagi melihat suatu benda dari batasan nilai mata uang, namun dari nilai kenangan yang tak terbatas. Dari sinilah mereka menukarkan barang yang mereka miliki dengan barang sesama pengembara. Mereka bertukar narasi yang tak terbatas oleh nilai mata uang. Oleh karenanya mereka memilih disebut sebagai “ houseless ”. Bukan “ homeless ”. Mereka memang tidak memiliki bangunan untuk ditinggali. Nam

Memories Of Matsuko (2006), Warna-warni Kegelapan

  Siapa yang menyangka, Matsuko, gadis cantik bersuara merdu menjalani kehidupan yang kelam? Berawal dari profesinya sebagai seorang guru SMP yang menghadapi kenakalan anak didiknya, Matsulo harus meninggalkan sekolahan. Ia pun menjadi penyanyi cafe, wanita penghibur, penata rambut, hingga sindikat narkoba. Ia berpindah dari kekasih satu kepada kekasih yang lain. Ia menikmati walau tersakiti. Adalah Sho, keponakan Matsuko yang merangkai cerita memori kehidupan bibinya setelah meninggal di usia 55 tahun. Ia mengumpulkan kepingan-kepingan memori Matsuko sepanjang kariernya hingga dibunuh dengan tragis. Kehidupan yang gelap dihadirkan dengan gemerlap melalui film ini. Menyaksikan film ini mengingatkan kita akan film Amelie. Cerita yang kelam dihadirkan dengan penuh keceriaan. Tanpa sadar film ini mengajak kita untuk melihat segala sesuatu dengan keceriaan. Dalam situasi apapun Matsuko menyelipkan “wajah jelek”nya untuk menghibur kita. Perjalanan hidup memang gelap dan berliku, namun sem