Langsung ke konten utama

Shoeshine (Italia, 1946)


Inilah film perdana peraih penghargaan Best Foreign Language dalam Academy Award tahun 1947. Film ini mengisahkan dua orang sahabat, Giuseppe dan Pasquale, yang kesehariannya menjadi penyemir sepatu jalanan. Pada suatu saat mereka ditawari pekerjaan sebagai penjual selimut buatan Amerika. Mereka pun menerima dan menawarkannya kepada seorang wanita peramal. Mereka berhasil menjual selimut buatan Amerika dan mereka pun kemudian menggunakan uang hasil penjualan selimut untuk membeli seekor kuda idaman mereka. Namun kebahagiaan mereka tidak berlangsung lama. Keesokan harinya mereka ditangkap oleh polisi dengan tuduhan menjual barang ilegal. Mereka pun harus tinggal di dalam penjara anak-anak. Di sinilah konflik keduanya dimulai. Mereka yang tadinya berteman baik, ketika tinggal di penjara menjadi bermusuhan.Giuseppe menuduh Pasquale sebagai pengkhianat dan mereka pun menjadi tidak akur. Hingga suatu saat, Giuseppe beserta komplotannya membuat onar di penjara dan akhirnya melarikan diri. Karena kebencian kepada Giuseppe, Pasquale pun mau membantu polisi untuk menangkap Giuseppe. 

Film ini memotret kehidupan anak-anak jalanan di Roma serta bagaimana kerasnya kehidupan penjara khusus anak-anak. Penjara bukanlah tempat untuk memperbaiki mental anak tetapi justru merusak mental mereka karena adanya intimidasi. Mereka seolah dipaksa mengakui kesalahan yang mungkin belum tentu mereka pahami. 

Di sisi yang lain, film ini mengingatkan kita bahwa tidak ada persahabatan yang abadi di dunia ini. Ketika berada di dalam kesenangan, Giuseppe dan Pasquale sangatlah akur dan akrab. Akan tetapi ketika mereka diperhadapkan dengan masalah yang berat, mereka saling menyalahkan dan berujung kebencian dan dendam.

Kekuatan dari film ini adalah menyimpan bagian akhir yang tragis. Mungkin ini adalah ciri khas dari kebanyakan film Italia : akhir kisah yang memilukan. Dengan akhir yang tragis, maka akan menggoreskan (bukan hanya menyentuh) kenangan di hati penonton dan akan tetap membekas sampai kapanpun.

Salam Sinema!! 



Komentar

Postingan populer dari blog ini

The Father (2020), Subjek yang Terlupa

  Anthony menghadapi permasalahan penuaan yang cukup ironis. Ia dibingungkan dengan memorinya sendiri. Ia tidak dapat lagi membedakan siapa, di mana, kapan, dan bagaimana kehidupannya berlalu. Semuanya kacau. Tiba-tiba saja anaknya yang pamit ke Paris muncul dengan sosok yang berbeda. Tiba-tiba saja ia menjumpai sosok menantu yang entah dari mana asalnya. Tiba-tiba saja ia berada di apartemen yang berbeda. Tiba-tiba saja ia tinggal di sebuah panti bersama para perawat. Dalam kebingungan, muncul rasa jengkel, marah, sedih, bahagia, dan pasrah. Film yang sederhana dalam tema namun tidak sederhana dalam merangkai cerita. Bahkan hingga akhir film, penonton pun tidak dapat menemukan mana kehidupan Anthony yang sesungguhnya. Semuanya tumpang tindih campur aduk menjadi satu. Menertawakan Anthony berarti juga menertawakan diri kita sendiri. Menemukan kembali subjek itu memang tidak mudah. Kalau Lacan menerangkan perjumpaan bayi dengan cermin untuk menemukan realitas dirinya, film ini menggamba

Nomadland (2020), Kisah Para Pencari Surga

  Bukankah manusia tercipta pertama kali di alam kebebasan dan tidak berumah? Demikianlah bagaimana film ini mencoba untuk menggambarkan para “pengembara” di Amerika Serikat yang kembali menghayati kehidupan nan bebas bersama mobil van mereka. Bangunan rumah hanyalah kurungan yang mendomestikkan manusia sehingga seringkali kehilangan naluri “kemanusiaannya”. Para pengembara ( nomadland ) di Amerika Serikat membangun sebuah komunitas kekeluargaan yang sangat intim dan dinamis. Sebuah kehidupan yang tidak lazim. Namun inilah gerakan subkultur yang menjadi kritik kemapanan manusia rumahan. Mereka tidak lagi melihat suatu benda dari batasan nilai mata uang, namun dari nilai kenangan yang tak terbatas. Dari sinilah mereka menukarkan barang yang mereka miliki dengan barang sesama pengembara. Mereka bertukar narasi yang tak terbatas oleh nilai mata uang. Oleh karenanya mereka memilih disebut sebagai “ houseless ”. Bukan “ homeless ”. Mereka memang tidak memiliki bangunan untuk ditinggali. Nam

Memories Of Matsuko (2006), Warna-warni Kegelapan

  Siapa yang menyangka, Matsuko, gadis cantik bersuara merdu menjalani kehidupan yang kelam? Berawal dari profesinya sebagai seorang guru SMP yang menghadapi kenakalan anak didiknya, Matsulo harus meninggalkan sekolahan. Ia pun menjadi penyanyi cafe, wanita penghibur, penata rambut, hingga sindikat narkoba. Ia berpindah dari kekasih satu kepada kekasih yang lain. Ia menikmati walau tersakiti. Adalah Sho, keponakan Matsuko yang merangkai cerita memori kehidupan bibinya setelah meninggal di usia 55 tahun. Ia mengumpulkan kepingan-kepingan memori Matsuko sepanjang kariernya hingga dibunuh dengan tragis. Kehidupan yang gelap dihadirkan dengan gemerlap melalui film ini. Menyaksikan film ini mengingatkan kita akan film Amelie. Cerita yang kelam dihadirkan dengan penuh keceriaan. Tanpa sadar film ini mengajak kita untuk melihat segala sesuatu dengan keceriaan. Dalam situasi apapun Matsuko menyelipkan “wajah jelek”nya untuk menghibur kita. Perjalanan hidup memang gelap dan berliku, namun sem