Langsung ke konten utama

Minari (2020), Kisah Para Pelintas Batas Membangun Identitas

 


Welcome to the jungle!! Demikianlah ungkapan bagi mereka yang berani untuk mengadu nasib di tanah orang. Ibaratnya mereka telah memilih untuk memasuki hutan belantara yang liar. Jacob dan Monica adalah pasangan yang berasal dari Korea dan memutuskan untuk bermigrasi memasuki rimba raya : Amerika Serikat. Bertahun-tahun mereka bekerja di Amerika Serikat sebagai pemilah anak ayam jantan dan betina. Dengan gaji yang minim mereka harus berjuang menghidupi kedua anak mereka yang masih kecil. Jacob memiliki mimpi yang besar menjadi petani sayuran. Ia mencoba untuk membuka ladang dan bercocok tanam dengan pinjaman modal dari bank. Permasalahan bertambah ketika ibu Monica datang dari Korea dan ikut tinggal bersama mereka. Kehadiran sang ibu bukan membawa berkat tapi malah menambah beban semakin berat.

Para imigran adalah mereka yang berani melintas batas, meninggalkan kenyamanan, menuju ketidak pastian. Sebagai pendatang, Jacob sangatlah idealis dengan pola pikirnya sebagai orang Korea. Ia merasa budayanyalah yang paling benar dan menepikan budaya tempat ia berdomisili. Misalnya ketika menentukan titik sumber air untuk membuat sumur, Jacob memandang remeh ahli sumur Amerika yang hanya menggunakan kayu untuk mencari sumber air. Ia lebih percaya kepada logikanya sendiri daripada kearifan budaya lokal. Akibatnya? Jacob gagal mendapatkan air. Ia pun menyerah dan pada akhirnya mempercayakan pembuatan sumur kepada ahli sumur setempat.

Di mana bumi dipjak, di sanalah langit dijunjung. Pesan tersebut tersirat dengan kuat dari film ini. Para imigran di manapun tempat haruslah menghargai budaya lokal seperti budayanya sendiri. Di sisi yang lain merekapun harus bisa bertahan dengan identitas asal mereka untuk menunjukkan sebuah eksistensi budaya. Dari sinilah hibriditas terbentuk. Orang Asia yang tinggal di Amerika tidak serta merta menjadi orang Amerika. Mereka tetaplah orang Asia yang berbudaya hibrid. Ya, setiap budaya memang hibrid. Semua adalah percampuran budaya ini dan itu. Namun mengolah hibriditas memang membutuhkan kerendahan hati. Ketika melintas batas, bersiaplah untuk melebur. Bukan menggumpal.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

The Father (2020), Subjek yang Terlupa

  Anthony menghadapi permasalahan penuaan yang cukup ironis. Ia dibingungkan dengan memorinya sendiri. Ia tidak dapat lagi membedakan siapa, di mana, kapan, dan bagaimana kehidupannya berlalu. Semuanya kacau. Tiba-tiba saja anaknya yang pamit ke Paris muncul dengan sosok yang berbeda. Tiba-tiba saja ia menjumpai sosok menantu yang entah dari mana asalnya. Tiba-tiba saja ia berada di apartemen yang berbeda. Tiba-tiba saja ia tinggal di sebuah panti bersama para perawat. Dalam kebingungan, muncul rasa jengkel, marah, sedih, bahagia, dan pasrah. Film yang sederhana dalam tema namun tidak sederhana dalam merangkai cerita. Bahkan hingga akhir film, penonton pun tidak dapat menemukan mana kehidupan Anthony yang sesungguhnya. Semuanya tumpang tindih campur aduk menjadi satu. Menertawakan Anthony berarti juga menertawakan diri kita sendiri. Menemukan kembali subjek itu memang tidak mudah. Kalau Lacan menerangkan perjumpaan bayi dengan cermin untuk menemukan realitas dirinya, film ini menggamba

Nomadland (2020), Kisah Para Pencari Surga

  Bukankah manusia tercipta pertama kali di alam kebebasan dan tidak berumah? Demikianlah bagaimana film ini mencoba untuk menggambarkan para “pengembara” di Amerika Serikat yang kembali menghayati kehidupan nan bebas bersama mobil van mereka. Bangunan rumah hanyalah kurungan yang mendomestikkan manusia sehingga seringkali kehilangan naluri “kemanusiaannya”. Para pengembara ( nomadland ) di Amerika Serikat membangun sebuah komunitas kekeluargaan yang sangat intim dan dinamis. Sebuah kehidupan yang tidak lazim. Namun inilah gerakan subkultur yang menjadi kritik kemapanan manusia rumahan. Mereka tidak lagi melihat suatu benda dari batasan nilai mata uang, namun dari nilai kenangan yang tak terbatas. Dari sinilah mereka menukarkan barang yang mereka miliki dengan barang sesama pengembara. Mereka bertukar narasi yang tak terbatas oleh nilai mata uang. Oleh karenanya mereka memilih disebut sebagai “ houseless ”. Bukan “ homeless ”. Mereka memang tidak memiliki bangunan untuk ditinggali. Nam

Memories Of Matsuko (2006), Warna-warni Kegelapan

  Siapa yang menyangka, Matsuko, gadis cantik bersuara merdu menjalani kehidupan yang kelam? Berawal dari profesinya sebagai seorang guru SMP yang menghadapi kenakalan anak didiknya, Matsulo harus meninggalkan sekolahan. Ia pun menjadi penyanyi cafe, wanita penghibur, penata rambut, hingga sindikat narkoba. Ia berpindah dari kekasih satu kepada kekasih yang lain. Ia menikmati walau tersakiti. Adalah Sho, keponakan Matsuko yang merangkai cerita memori kehidupan bibinya setelah meninggal di usia 55 tahun. Ia mengumpulkan kepingan-kepingan memori Matsuko sepanjang kariernya hingga dibunuh dengan tragis. Kehidupan yang gelap dihadirkan dengan gemerlap melalui film ini. Menyaksikan film ini mengingatkan kita akan film Amelie. Cerita yang kelam dihadirkan dengan penuh keceriaan. Tanpa sadar film ini mengajak kita untuk melihat segala sesuatu dengan keceriaan. Dalam situasi apapun Matsuko menyelipkan “wajah jelek”nya untuk menghibur kita. Perjalanan hidup memang gelap dan berliku, namun sem