Pada menit ke tiga puluh baru tersadar kalau film ini tidak
menggunakan musik latar! Tidak ada ayunan orkestra penyambung adegan, tidak
ada lentik piano yang memperkuat klimaks... Hanya ada dua lagu dalam film ini.
Satu lagu akapela yang memang dinyanyikan oleh sekelompok orang pada adegan api
unggun, dan satunya lagi komposisi megah Four Season-nya Vivaldi yang dimainkan
dalam sebuah konser di akhir film.
Musik latar dalam film ini adalah semesta yang bernyanyi. Deburan
ombak menggantikan alunan biola, desiran angin menggantikan bisikan seruling,
dan letupan api menggantikan tabuhan rebana. Semua berjalan apa adanya.
Bukankah hidup ini pun berlalu tanpa musik latar?
Nyanyian semesta meramu sebuah kisah pilu. Dengan mengambil setting
waktu abad ke-18, film ini berkisah tentang Marianne, seorang pelukis yang
diundang untuk melukis di tengah keluarga bangsawan Perancis. Ia diminta
melukis Héloïse, putri seorang bangsawan Prancis yang akan dijodohkan
dengan seorang bangsawan Italia. Lukisan itulah yang nantinya akan dikirimkan
kepada calon suami Héloïse di Italia
untuk mengenalkan potret Héloïse. Marianne
dan Héloïse pun akhirnya tertaut dalam sebuah ikatan. Bukan hanya
mengenal tapi lebih dalam lagi, saling memiliki. Tapi pertautan mereka tidak
lama. Setelah lukisan terselesaikan, Marianne pun harus pulang meninggalkan Héloïse.
Nyanyian semesta benar-benar meramu sebuah kisah pilu.
Iniliah kekuatan film Eropa. Jujur, lugas, naif, dan
bertele-tele. Melelahkan tapi bermakna. Dari Héloïse yang sejak
awal begitu dingin tanpa senyum, sedikit demi sedikit senyum itu mengembang dan
menjadi gelak tawa karena kehadiran Marianne. Tapi tawa yang lebarpun akhirnya
meredup kembali oleh perpisahan. Tapi bagi saya intinya bukan itu. Intinya adalah
ternyata sebuah film bisa mengalun dengan anggun tanpa dibalut musik. Film ini
membiarkan semesta menjadi pengiring dalam setiap kisah kehidupan.
Komentar
Posting Komentar