Kisah gangster Amerika pada tahun 70-an selalu menarik untuk
diangkat menjadi tontonan ataupun bacaan. Bukan hanya dar dor dar dor, tapi ada
sisi humanis di dalamnya. Hubungan persaudaraan, uang, politik, dan agama
menjadi bagian menarik dari kisah para mafia. Setiap peluru yang keluar pasti
ada latar belakang permasalahan yang rumit dan persahabatan yang karib.
The Irishman pun mengangkat sisi humanis dari seorang Frank
Sheeren, seorang veteran perang dari Irlandia yang menjadi pelindung dari tokoh
kharismatis pada jaman itu, Jimmy Hoffa. Jimmy Hoffa disebutkan memiliki
popularitas setara Elvis di tahun 60-an dan the Beatles di tahun 70-an. Tapi
karena intrik politik, Frank Sheeren pun akhirnya menghabisi Jimmy Hoffa.
Frank Sheeren sempat dipenjara selama 18 tahun karena
tuduhan suap. Yang membuat film ini menarik bukan keseruan aksi Frank Sheeren
dalam menghabisi “lawan-lawannya”, tapi justru di masa tuanya, ketika ia
terbebas dari penjara. Membunuh Jimmy Hoffa membuatnya bergumul hebat. Peggy,
putri kesayangan Sheeren menjauhinya sejak peristiwa menghilangnya Hoffa.
Sheeren mengalami kesepian yang luar biasa. Semua sahabatnya telah tiada. Ia hanya
seorang diri dengan tubuh yang renta. Ia pun telah mempersiapkan kematiannya
dengan membeli peti yang kelak ia pakai.
Film ini mengajak untuk bergumul mengenai kesia-siaan. Kekayaan,
kejayaan, kesehatan, umur panjang, keluarga, semuanya akan sia-sia dan
kehilangan makna. Bahkan agamapun tidak mampu menjawab kesia-siaan tersebut. Seorang
pastor muda yang mengunjungi Sheeren hanya mampu bertutur diplomatis, tanpa
mampu menjawab kesia-siaan hidup. Dalam adegan terakhir, sang pastor mengenakan
stola ungu lalu melipatnya dan pergi. Masa adven yang semu. Masa penantian akan
ketidak jelasan. Sia-sia.
Komentar
Posting Komentar