Langsung ke konten utama

KAPO (Italia, 1960)




Ini adalah film yang diproduksi kerjasama antara Italia, Perancis, dan digarap di Yugoslavia. Berkisah tentang Edith yang harus hidup di kamp pengasingan setelah kedua orang tuanya dibunuh oleh Jerman. Edith, seorang gadis kecil keturunan Yahudi, berhasil selamat dari pembunuhan masal oleh Jerman di sebuah kamp pengasingan karena diselamatkan oleh rekan-rekannya dengan mengubah identitas bukan lagi sebagai seorang Yahudi. Namanya bukan lagi Edith, tetapi Nicole.

Menginjak remaja, Nicole ternyata tumbuh menjadi gadis yang nakal. Ia rela menjual tubuhnya bagi tentara Jerman untuk mendapatkan fasilitas yang lebih dari rekan-rekan yang lain di pengasingan. Hingga akhirnya karena kedekatannya dengan tentara-tentara Jerman,  ia diangkat menjadi penjaga wanita, yang tentu saja hal ini menimbulkan kecemburuan dengan penghuni kamp yang lain. Nicole pun kurang disukai di antara rekan-rekannya di kamp pengasingan karena sifatnya yang egois dan angkuh.

Pada suatu saat datanglah serombongan tawanan tentara Rusia yang ditawan di tempat kamp pengasingan di mana Nicole berada. Nicole pun jatuh cinta dengan Karl, salah satu tentara Rusia tersebut. Hingga akhirnya muncullah sebuah gagasan untuk melakukan pemberontakan di kamp tersebut. Strategi pun telah diatur, dan Nicole mendapat tugas memadamkan arus listrik dari sumbernya yang mengaliri kawat berduri di sekeliling kamp. Pemberontakan pun berhasil. Banyak tawanan yang berhasil membebaskan diri dari tentara Jerman, termasuk Karl. Tetapi sayangnya, Nicole tertembak pada saat berhasil memdadamkan listrik. Nicole pun meregang nyawa. Sebelum ia mati, Nicole menyebut, “Tanah Israel tercerahkan, Allah Israel, Allah adalah terang, Engkaulah yang memutus rantai perbudakan.” Di akhir hayatnya, Nicole melepaskan kembali identitasnya dan kembali menjadi seorang Yahudi. Ia kembali menjadi Edith, penyembah Sang Adonai.

Sebuah film yang tragis – yang memang menjadi ciri khas film-film bertema holocaust. Kehidupan dan kematian seolah berjarak sangat dekat dan tipis sekali. Nyawa manusia seolah tidak ada harganya dan dengan mudahnya dipermainkan. Tetapi dibalik itu semua, film ini menampilkan tokoh Edith/Nicole dengan karakter yang berubah dari bagian satu ke bagian yang lainnya. Ketika Edith masih kecil, digambarkan sebagai sosok yang polos dan lugu. Karena kepolosannya itulah, akhirnya ia ditolong dengan mengubah identitas. Tetapi saat berubah menjadi Nicole, karakter polos dan lugunya berubah menjadi licik, nakal, dan angkuh. Ia rela menjual tubuhnya untuk mendapatkan perlakuan istimewa dari rekan-rekan yang lain. Kehidupan sosialnya pun berubah, dari yang tadinya banyak mendapatkan simpati dan empati dari rekan-rekannya, berubah menjadi tokoh dibenci dan dijauhi dalam pergaulan. Tetapi sejak bertemu dengan Karl, tawanan perang sal Rusia, Nicole kembali berubah menjadi gadis yang dewasa dan mampu berpikir bijaksana. Hingga puncaknya adalah saat ia mau menjalankan tugas yang berat, yaitu memadamkan aliran listrik dari pusatnya untuk membebaskan tawanan di kamp. Dalam menjalankan tugasnya, ia pun tertembak dan akhirnya meninggal. Ia pun dikenang sebagai pahlawan, meskipun masa mudanya penuh dengan kontroversi dan tidak disukai oleh rekan-rekan di kamp pengasingan.

Refleksi dari film ini.... Iniah gambaran kehidupan manusia secara utuh. Ada kalanya manusia itu tampil polos dan lugu, ada kalanya memasuki kehidupan yang kelam dan angkuh, tetapi ada kalanya pula memiliki kedewasaan diri dan bahkan rela berkorban bagi sesamanya. Inilah manusia yang memang selalu berproses meniti waktu.


Salam Sinema!!!

                                                

Komentar

Postingan populer dari blog ini

The Father (2020), Subjek yang Terlupa

  Anthony menghadapi permasalahan penuaan yang cukup ironis. Ia dibingungkan dengan memorinya sendiri. Ia tidak dapat lagi membedakan siapa, di mana, kapan, dan bagaimana kehidupannya berlalu. Semuanya kacau. Tiba-tiba saja anaknya yang pamit ke Paris muncul dengan sosok yang berbeda. Tiba-tiba saja ia menjumpai sosok menantu yang entah dari mana asalnya. Tiba-tiba saja ia berada di apartemen yang berbeda. Tiba-tiba saja ia tinggal di sebuah panti bersama para perawat. Dalam kebingungan, muncul rasa jengkel, marah, sedih, bahagia, dan pasrah. Film yang sederhana dalam tema namun tidak sederhana dalam merangkai cerita. Bahkan hingga akhir film, penonton pun tidak dapat menemukan mana kehidupan Anthony yang sesungguhnya. Semuanya tumpang tindih campur aduk menjadi satu. Menertawakan Anthony berarti juga menertawakan diri kita sendiri. Menemukan kembali subjek itu memang tidak mudah. Kalau Lacan menerangkan perjumpaan bayi dengan cermin untuk menemukan realitas dirinya, film ini menggamba

Nomadland (2020), Kisah Para Pencari Surga

  Bukankah manusia tercipta pertama kali di alam kebebasan dan tidak berumah? Demikianlah bagaimana film ini mencoba untuk menggambarkan para “pengembara” di Amerika Serikat yang kembali menghayati kehidupan nan bebas bersama mobil van mereka. Bangunan rumah hanyalah kurungan yang mendomestikkan manusia sehingga seringkali kehilangan naluri “kemanusiaannya”. Para pengembara ( nomadland ) di Amerika Serikat membangun sebuah komunitas kekeluargaan yang sangat intim dan dinamis. Sebuah kehidupan yang tidak lazim. Namun inilah gerakan subkultur yang menjadi kritik kemapanan manusia rumahan. Mereka tidak lagi melihat suatu benda dari batasan nilai mata uang, namun dari nilai kenangan yang tak terbatas. Dari sinilah mereka menukarkan barang yang mereka miliki dengan barang sesama pengembara. Mereka bertukar narasi yang tak terbatas oleh nilai mata uang. Oleh karenanya mereka memilih disebut sebagai “ houseless ”. Bukan “ homeless ”. Mereka memang tidak memiliki bangunan untuk ditinggali. Nam

Memories Of Matsuko (2006), Warna-warni Kegelapan

  Siapa yang menyangka, Matsuko, gadis cantik bersuara merdu menjalani kehidupan yang kelam? Berawal dari profesinya sebagai seorang guru SMP yang menghadapi kenakalan anak didiknya, Matsulo harus meninggalkan sekolahan. Ia pun menjadi penyanyi cafe, wanita penghibur, penata rambut, hingga sindikat narkoba. Ia berpindah dari kekasih satu kepada kekasih yang lain. Ia menikmati walau tersakiti. Adalah Sho, keponakan Matsuko yang merangkai cerita memori kehidupan bibinya setelah meninggal di usia 55 tahun. Ia mengumpulkan kepingan-kepingan memori Matsuko sepanjang kariernya hingga dibunuh dengan tragis. Kehidupan yang gelap dihadirkan dengan gemerlap melalui film ini. Menyaksikan film ini mengingatkan kita akan film Amelie. Cerita yang kelam dihadirkan dengan penuh keceriaan. Tanpa sadar film ini mengajak kita untuk melihat segala sesuatu dengan keceriaan. Dalam situasi apapun Matsuko menyelipkan “wajah jelek”nya untuk menghibur kita. Perjalanan hidup memang gelap dan berliku, namun sem