Rashomon bukanlah film yang menyajikan jawaban ataupun akhir
yang gamblang, tetapi justru memunculkan pertanyaan yang menjadi refleksi. Film
ini memiliki alur flashback rangkap, di mana mengisahkan adanya perjumpaan di
sebuah runtuhan kuil antara seorang pendeta, penebang pohon, dan seorang asing
yang datang untuk berteduh setalah badai. Mereka bertiga mempercakapkan
kejadian pembunuhan yang berlangsung tiga hari yang lalu. Diawali dari cerita
penebang pohon yang melihat mayat di hutan, kemudian ia pun harus bersaksi di
pengadilan. Selanjutnya kesaksian dilanjutkan oleh pendeta yang juga sempat
berjumpa dengan korban. Selain itu dikisahkan pula di pengadilan bagaimana
saksi-saksi yang lain mengisahkan kejadian tersebut, seperti adanya bandit yang
terlibat kasus pembunuhan, istri dari korban, hingga arwah si korban yang
didatangkan melalui raga istrinya. Yang membingungkan, masing-masing saksi
mengisahkan kisah yang berbeda-beda mengenai siapa yang menjadi pembunuh korban
di tengah hutan. Masing-masing mencoba untuk membenarkan diri dalam kesaksian.
Dialog di bagian terakhir yang disampaikan pendeta
sepertinya menjadi pesan dari film ini. “Jikalau tidak ada kepercayaan satu
dengan yang lain, dunia akan menjadi neraka.” Penyadaran diri akan kesalahan,
menumbuhkan rasa malu, dan pemberian kepercayaan bagi orang lain adalah sikap
yang harus terwujud dalam diri manusia. Pesan ini dibungkus dengan penyajian
minimalis yang bersetting di tiga tempat : runtuhan kuil, hutan, dan
pengadilan. Permainan plot dari satu setting ke setting yang lain adalah
kekuatan dari film ini. Merangkai kesaksian-kesaksian dan membingkainya menjadi
satu cerita yang berakhir dengan refleksi tajam : penyadaran diri, rasa malu,
dan mau memberikan kepercayaan.
Salam Sinema!!
Komentar
Posting Komentar