Langsung ke konten utama

La Strada (Italia, 1954)

                         
Film ini berkisah tentang seorang gadis pesisir bernama Gelsomina yang "dibeli" oleh seorang pemain sirkus amatiran bernama Zampano dari ibunya untuk dijadikannya asisten pertunjukan sirkus. Sesampainya di kota Roma, ternyata pertunjukan Zampano tidaklah terlalu sukses karena mendapatkan saingan berat dari kelompok sirkus profesional. Bahkan pemilik sirkus profesional tersebut menawarkan kepada Gelosimina untuk bergabung dengan mereka dengan jaminan kehidupan yang jauh lebih mapan. Kegalauan pun muncul saat Gelsomina harus menentukan pilihan, mengikuti rombongan sirkus yang profesional dan menjadi mapan atau tetap bersama Zampano yang telah membelinya meskipun jalan yang dihadapi penuh liku terjal. Hingga akhirnya muncullah sebuah refleksi bahwa semua yang ada di dunia ini pastilah memiliki tujuan. Kerikil yang kecil pun memiliki tujuan dan bermakna dalam kehidupan ini. Inilah yang membuat Gelsomina memilih untuk bersama-sama dengan Zampano meskipun kemudian dia harus meninggal dunia karena himpitan dan keterbatasan ekonomi. Meskipun demikian, film ini mengingatkan bahwa setiap kehidupan pastilah memiliki tujuan. Kematian Gelsomina senantiasa dikenang dan tidaklah sia-sia perjuangannya.


Salah satu cara mengenang Gelsomina, si gadis sirkus amatir yang cukup inspiratif, penulis blog memasang wajahnya sebagai gambar latar di blog ini. Inilah gambaran kehidupan yang tak akan pernah ada kesia-siaan ketika kita senantiasa mencari makna di dalamnya. 


Salam Sinema!!!





Komentar

Postingan populer dari blog ini

The Father (2020), Subjek yang Terlupa

  Anthony menghadapi permasalahan penuaan yang cukup ironis. Ia dibingungkan dengan memorinya sendiri. Ia tidak dapat lagi membedakan siapa, di mana, kapan, dan bagaimana kehidupannya berlalu. Semuanya kacau. Tiba-tiba saja anaknya yang pamit ke Paris muncul dengan sosok yang berbeda. Tiba-tiba saja ia menjumpai sosok menantu yang entah dari mana asalnya. Tiba-tiba saja ia berada di apartemen yang berbeda. Tiba-tiba saja ia tinggal di sebuah panti bersama para perawat. Dalam kebingungan, muncul rasa jengkel, marah, sedih, bahagia, dan pasrah. Film yang sederhana dalam tema namun tidak sederhana dalam merangkai cerita. Bahkan hingga akhir film, penonton pun tidak dapat menemukan mana kehidupan Anthony yang sesungguhnya. Semuanya tumpang tindih campur aduk menjadi satu. Menertawakan Anthony berarti juga menertawakan diri kita sendiri. Menemukan kembali subjek itu memang tidak mudah. Kalau Lacan menerangkan perjumpaan bayi dengan cermin untuk menemukan realitas dirinya, film ini menggamba

Nomadland (2020), Kisah Para Pencari Surga

  Bukankah manusia tercipta pertama kali di alam kebebasan dan tidak berumah? Demikianlah bagaimana film ini mencoba untuk menggambarkan para “pengembara” di Amerika Serikat yang kembali menghayati kehidupan nan bebas bersama mobil van mereka. Bangunan rumah hanyalah kurungan yang mendomestikkan manusia sehingga seringkali kehilangan naluri “kemanusiaannya”. Para pengembara ( nomadland ) di Amerika Serikat membangun sebuah komunitas kekeluargaan yang sangat intim dan dinamis. Sebuah kehidupan yang tidak lazim. Namun inilah gerakan subkultur yang menjadi kritik kemapanan manusia rumahan. Mereka tidak lagi melihat suatu benda dari batasan nilai mata uang, namun dari nilai kenangan yang tak terbatas. Dari sinilah mereka menukarkan barang yang mereka miliki dengan barang sesama pengembara. Mereka bertukar narasi yang tak terbatas oleh nilai mata uang. Oleh karenanya mereka memilih disebut sebagai “ houseless ”. Bukan “ homeless ”. Mereka memang tidak memiliki bangunan untuk ditinggali. Nam

Memories Of Matsuko (2006), Warna-warni Kegelapan

  Siapa yang menyangka, Matsuko, gadis cantik bersuara merdu menjalani kehidupan yang kelam? Berawal dari profesinya sebagai seorang guru SMP yang menghadapi kenakalan anak didiknya, Matsulo harus meninggalkan sekolahan. Ia pun menjadi penyanyi cafe, wanita penghibur, penata rambut, hingga sindikat narkoba. Ia berpindah dari kekasih satu kepada kekasih yang lain. Ia menikmati walau tersakiti. Adalah Sho, keponakan Matsuko yang merangkai cerita memori kehidupan bibinya setelah meninggal di usia 55 tahun. Ia mengumpulkan kepingan-kepingan memori Matsuko sepanjang kariernya hingga dibunuh dengan tragis. Kehidupan yang gelap dihadirkan dengan gemerlap melalui film ini. Menyaksikan film ini mengingatkan kita akan film Amelie. Cerita yang kelam dihadirkan dengan penuh keceriaan. Tanpa sadar film ini mengajak kita untuk melihat segala sesuatu dengan keceriaan. Dalam situasi apapun Matsuko menyelipkan “wajah jelek”nya untuk menghibur kita. Perjalanan hidup memang gelap dan berliku, namun sem