Langsung ke konten utama

About Elly (2009), Permainan Emosi yang Menghanyutkan

 


Ini adalah film yang mampu menggali ekspresi masing-masing pemeran dengan sangat baik. Berawal dari suasana ceria yang penuh kegembiraan ketika rombongan tiga keluarga muda mengisi malam minggu dengan menginap di sebuah vila di pinggir pantai. Mereka mengajak Elly, guru salah satu anak mereka untuk bergabung. Niat hati ingin menjodohkan Elly dengan Ahmad yang juga ikut bersama dengan mereka. Suasana kegembiraan penuh dengan senyum kehangatan mewarnai awal liburan mereka. Namun di tengah kegembiraan, tiba-tiba muncul kejadian yang mencekam di mana salah satu dari anak mereka terbawa ombak. Kepanikan terbangun dengan cepat. Untunglah anak tersebut bisa terselamatkan. Tapi permasalahan selanjutnya adalah mereka kehilangan Elly. Pada awalnya Elly diminta untuk menjaga anak-anak bermain di pantai. Namun seiring tenggelamnya seorang anak, Elly pun ikut menghilang. Kepanikan yang sudah mereda kembali muncul ketika menyadari Elly tidak ada bersama mereka. Berbagai usaha dilakukan untuk mencari Elly yang diduga terseret ombak. Suasana ceria penuh persahabatan berubah menjadi tegang, mencekam, dan saling menyalahkan. Masalah diperuncing ketika hadir seorang yang ternyata adalah tunangan Elly. Semua menjadi serba salah ketika melibatkan Elly dalam acara mereka. Mereka tak menyangka kalau Elly yang hendak mereka jodohkan dengan Ahmad ternyata sudah beetunangan.

 

Asghar Farhadi mampu meramu kesederhanaan tema dengan kemampuan berekspresi masing-masing pemeran. Bahkan anak-anak kecilpun dihadirkan dengan luar biasa di film ini. Film ini memang tidak menonjolkan sisi misteri hilangnya Elly namun relasi yang terbentuk setelah Elly hilang. Asghar Farhadi mampu membangun emosi dari tenang... gembira... hangat... panik... marah... sedih... menyesal... semua mengalir dengan lugas. Bisa dikatakan ini adalah film “prelude” sebelum Asghar Farhadi menyutradari film tersohor A Separation. Film About Elly memiliki elemen-elemen yang mirip dengan A Separation. Keduanya mengangkat kesederhanaan yang berkembang menjadi konflik sarat emosi.   

 

Cara menikmati film ini bukan dengan logika yang selalu mempertanyakan di mana Elly berada. Tapi akan lebih mengena ketika menggunakan rasa, menghanyutkan diri seolah kita adalah bagian dari mereka yang berkonflik. Guratan kecewa, amarah, putus asa, hingga rasa cemburu akan membekas dan tak mudah untuk dilepas.

 

Salam Sinema!!!   

Komentar

Postingan populer dari blog ini

The Father (2020), Subjek yang Terlupa

  Anthony menghadapi permasalahan penuaan yang cukup ironis. Ia dibingungkan dengan memorinya sendiri. Ia tidak dapat lagi membedakan siapa, di mana, kapan, dan bagaimana kehidupannya berlalu. Semuanya kacau. Tiba-tiba saja anaknya yang pamit ke Paris muncul dengan sosok yang berbeda. Tiba-tiba saja ia menjumpai sosok menantu yang entah dari mana asalnya. Tiba-tiba saja ia berada di apartemen yang berbeda. Tiba-tiba saja ia tinggal di sebuah panti bersama para perawat. Dalam kebingungan, muncul rasa jengkel, marah, sedih, bahagia, dan pasrah. Film yang sederhana dalam tema namun tidak sederhana dalam merangkai cerita. Bahkan hingga akhir film, penonton pun tidak dapat menemukan mana kehidupan Anthony yang sesungguhnya. Semuanya tumpang tindih campur aduk menjadi satu. Menertawakan Anthony berarti juga menertawakan diri kita sendiri. Menemukan kembali subjek itu memang tidak mudah. Kalau Lacan menerangkan perjumpaan bayi dengan cermin untuk menemukan realitas dirinya, film ini menggamba

Nomadland (2020), Kisah Para Pencari Surga

  Bukankah manusia tercipta pertama kali di alam kebebasan dan tidak berumah? Demikianlah bagaimana film ini mencoba untuk menggambarkan para “pengembara” di Amerika Serikat yang kembali menghayati kehidupan nan bebas bersama mobil van mereka. Bangunan rumah hanyalah kurungan yang mendomestikkan manusia sehingga seringkali kehilangan naluri “kemanusiaannya”. Para pengembara ( nomadland ) di Amerika Serikat membangun sebuah komunitas kekeluargaan yang sangat intim dan dinamis. Sebuah kehidupan yang tidak lazim. Namun inilah gerakan subkultur yang menjadi kritik kemapanan manusia rumahan. Mereka tidak lagi melihat suatu benda dari batasan nilai mata uang, namun dari nilai kenangan yang tak terbatas. Dari sinilah mereka menukarkan barang yang mereka miliki dengan barang sesama pengembara. Mereka bertukar narasi yang tak terbatas oleh nilai mata uang. Oleh karenanya mereka memilih disebut sebagai “ houseless ”. Bukan “ homeless ”. Mereka memang tidak memiliki bangunan untuk ditinggali. Nam

Memories Of Matsuko (2006), Warna-warni Kegelapan

  Siapa yang menyangka, Matsuko, gadis cantik bersuara merdu menjalani kehidupan yang kelam? Berawal dari profesinya sebagai seorang guru SMP yang menghadapi kenakalan anak didiknya, Matsulo harus meninggalkan sekolahan. Ia pun menjadi penyanyi cafe, wanita penghibur, penata rambut, hingga sindikat narkoba. Ia berpindah dari kekasih satu kepada kekasih yang lain. Ia menikmati walau tersakiti. Adalah Sho, keponakan Matsuko yang merangkai cerita memori kehidupan bibinya setelah meninggal di usia 55 tahun. Ia mengumpulkan kepingan-kepingan memori Matsuko sepanjang kariernya hingga dibunuh dengan tragis. Kehidupan yang gelap dihadirkan dengan gemerlap melalui film ini. Menyaksikan film ini mengingatkan kita akan film Amelie. Cerita yang kelam dihadirkan dengan penuh keceriaan. Tanpa sadar film ini mengajak kita untuk melihat segala sesuatu dengan keceriaan. Dalam situasi apapun Matsuko menyelipkan “wajah jelek”nya untuk menghibur kita. Perjalanan hidup memang gelap dan berliku, namun sem