Langsung ke konten utama

American Beauty (1999), Karena Asmara Kuat seperti Maut



Because the world is round it turns me on
Because the world is round, ah...

Because the wind is high it blows my mind
Because the wind is high, ah...

Love is old, love is new
Love is all, love is you…


Lagu Because karya the Beatles ini menutup film dengan begitu manis. Sebuah jawaban tentang kisah asmara yang tidak biasa. Semua terjadi karena dunia yang berputar. Semua terjadi karena angin yang menerbangkan khayalan. American Beauty adalah gambaran keindahan asmara yang tidak biasa. Semua berawal dari kejenuhan hidup berkeluarga. Lester, pria paruh baya, merasa hubungannya dengan Carolyn istrinya serta Jane putrinya begitu kaku dan dingin. Di tengah titik jenuh relasi keluarga Lester, muncullah imajinasi asmara yang menggoda mereka bertiga. Lester tergila-gila dengan sahabat anaknya sendiri, Carolyn jatuh hati kepada pesaing bisnisnya, dan Jane tergoda pria pengedar narkoba yang menjadi tetangga baru mereka. Asmara yang tumbuh ini ternyata malah menjadikan kehidupan mereka penuh dengan gairah dan semangat. Namun di tengah pergolakan asmara yang tidak biasa tersebut, terjadilah tragedi yang mengejutkan.

 

Film ini bukan hanya menghadirkan konflik asmara yang muncul dari ketiga anggota keluarga, tapi juga perenungan serta penyadaran diri tentang apa itu rasa cinta. Seperti lagu Because tadi, cinta itu lawas (klasik, kuno, tradisional) tapi juga baru (penuh gairah, revolusioner). Asmara bisa hadir kapan saja, di mana saja, dan kepada siapa saja. Asmaralah yang membuat kehidupan ini berwarna dalam gairah dan cinta. Bahkan, menurut Kidung Agung, cinta dimetaforakan begitu kuat seperti maut, gairahnya gigih seperti dunia orang mati, dan nyalanya adalah nyala api. Film ini berhasil memotret dinginnya kehidupan tanpa asmara, serta kacaunya kehidupan ketika api asmara yang begitu kuat itu tak mampu dikendalikan.

 

Konflik terbangun dengan begitu apik. Dinginnya relasi hadir dengan menampilkan wajah-wajah yang murung. Namun ketika imajinasi asmara melanda, senyumanpun merekah dengan indah. Film ini berakhir dengan kejutan yang benar-benar tak terduga. Sebuah komedi satir yang menyentuh batas emosi. Inilah wajah kehidupan keluarga suburban Amerika dengan permasalahan asmaranya. Inilah keindahan Amerika yang hadir melalui konflik keluarga yang terungkap dengan begitu lugas dan terselesaikan dengan sangat tragis.

 

Salam Sinema!!!


Komentar

Postingan populer dari blog ini

The Father (2020), Subjek yang Terlupa

  Anthony menghadapi permasalahan penuaan yang cukup ironis. Ia dibingungkan dengan memorinya sendiri. Ia tidak dapat lagi membedakan siapa, di mana, kapan, dan bagaimana kehidupannya berlalu. Semuanya kacau. Tiba-tiba saja anaknya yang pamit ke Paris muncul dengan sosok yang berbeda. Tiba-tiba saja ia menjumpai sosok menantu yang entah dari mana asalnya. Tiba-tiba saja ia berada di apartemen yang berbeda. Tiba-tiba saja ia tinggal di sebuah panti bersama para perawat. Dalam kebingungan, muncul rasa jengkel, marah, sedih, bahagia, dan pasrah. Film yang sederhana dalam tema namun tidak sederhana dalam merangkai cerita. Bahkan hingga akhir film, penonton pun tidak dapat menemukan mana kehidupan Anthony yang sesungguhnya. Semuanya tumpang tindih campur aduk menjadi satu. Menertawakan Anthony berarti juga menertawakan diri kita sendiri. Menemukan kembali subjek itu memang tidak mudah. Kalau Lacan menerangkan perjumpaan bayi dengan cermin untuk menemukan realitas dirinya, film ini menggamba

Nomadland (2020), Kisah Para Pencari Surga

  Bukankah manusia tercipta pertama kali di alam kebebasan dan tidak berumah? Demikianlah bagaimana film ini mencoba untuk menggambarkan para “pengembara” di Amerika Serikat yang kembali menghayati kehidupan nan bebas bersama mobil van mereka. Bangunan rumah hanyalah kurungan yang mendomestikkan manusia sehingga seringkali kehilangan naluri “kemanusiaannya”. Para pengembara ( nomadland ) di Amerika Serikat membangun sebuah komunitas kekeluargaan yang sangat intim dan dinamis. Sebuah kehidupan yang tidak lazim. Namun inilah gerakan subkultur yang menjadi kritik kemapanan manusia rumahan. Mereka tidak lagi melihat suatu benda dari batasan nilai mata uang, namun dari nilai kenangan yang tak terbatas. Dari sinilah mereka menukarkan barang yang mereka miliki dengan barang sesama pengembara. Mereka bertukar narasi yang tak terbatas oleh nilai mata uang. Oleh karenanya mereka memilih disebut sebagai “ houseless ”. Bukan “ homeless ”. Mereka memang tidak memiliki bangunan untuk ditinggali. Nam

Memories Of Matsuko (2006), Warna-warni Kegelapan

  Siapa yang menyangka, Matsuko, gadis cantik bersuara merdu menjalani kehidupan yang kelam? Berawal dari profesinya sebagai seorang guru SMP yang menghadapi kenakalan anak didiknya, Matsulo harus meninggalkan sekolahan. Ia pun menjadi penyanyi cafe, wanita penghibur, penata rambut, hingga sindikat narkoba. Ia berpindah dari kekasih satu kepada kekasih yang lain. Ia menikmati walau tersakiti. Adalah Sho, keponakan Matsuko yang merangkai cerita memori kehidupan bibinya setelah meninggal di usia 55 tahun. Ia mengumpulkan kepingan-kepingan memori Matsuko sepanjang kariernya hingga dibunuh dengan tragis. Kehidupan yang gelap dihadirkan dengan gemerlap melalui film ini. Menyaksikan film ini mengingatkan kita akan film Amelie. Cerita yang kelam dihadirkan dengan penuh keceriaan. Tanpa sadar film ini mengajak kita untuk melihat segala sesuatu dengan keceriaan. Dalam situasi apapun Matsuko menyelipkan “wajah jelek”nya untuk menghibur kita. Perjalanan hidup memang gelap dan berliku, namun sem