Siapakah yang membentuk identitas seseorang? Identitas terbentuk karena
adanya kuasa. Siapa yang berkuasalah yang berhak membentuk atau menentukan
identitas. Film ini berkisah tentang seorang gadis (diperankan Leoni) tanpa
identitas yang menjaga ayahnya di rumah sakit. Gadis itu sama sekali tidak
beridentitas. Bahkan namapun tidak punya. Rumah kontrakan mereka telah digusur
untuk proyek pemerintah. Gadis itupun harus menjadi pramuria untuk mendapatkan
uang guna menebus obat ayahnya. Ketika gadis itu tidur di bangku beranda kamar
mati, bertemulah ia itu dengan seorang petugas kamar mati (diperankan Tio
Pakusadewo) yang bernama Adam. Adam berjanji akan membantu dirinya mengurus kartu
tanda miskin yang akan meringankan biaya rumah sakit. Ketika Adam berhasil
melobi calon wakil rakyat untuk membantu kepengurusan kartu tanda miskin, gadis
itu malah menghilang. Esoknya ditemukan gadis tanpa identitas itu telah mati
dengan keadaan telanjang di tepi sungai.
Identitas ditentukan oleh siapa yang punya kuasa. Gadis tanpa identitas dan
ayahnya hadir sebagai golongan yang lemah. Mereka tertindas dengan tiadanya
idetitas. Apalagi mereka adalah minoritas, warga keturunan Tionghoa. Mereka
selalu dipandang sebelah mata. Dalam kerapuhan, Adam mencoba membangun
identitas dai diri sendiri. Bukan orang lain. Di akhir film, Adam mengungkapkan
bahwa mayat gadis tanpa identitas itu adalah istrinya. Demikianlah protes
minoritas dalam ranah menemukan identitasnya. Adam mencoba membebaskan dirinya
dan gadis tanpa identitas dengan cara memberikan identitas bagi mereka sendiri
sebagai suami-istri.
Identitas bukan hanya nama, tapi pengakuan dan penghormatan. Tanpa
identitas, kita adalah alien. Liyan yang tak dianggap ada. Tanpa identitas, seorang termarginalkan. Sebuah ide film yang
sangat mahal, namun sayang dieksekusi dengan sedikit amburadul. Film ini
menghadirkan banyak hal yang serba nanggung. Nyata tidak, mayapun tidak. Seperti setting
rumahsakit yang terkesan aneh dan murahan dengan hadirnya suster seksi, orang
diperban seluruh tubuh yang mondar-mandir, serta dialog-dialog yang tidak
berbobot. Dan satu lagi hal yang disayangkan dari film ini : terlalu banyak
kritik yang diangkat sehingga malah kuramg kritis. Film ini ingin mengangkat
kritik identitas, politik pilkada, penggusuran, birokrasi yang ruwet, pelayanan
kesehatan yang amburadul, hingga kesalehan palsu orang beragama. Bayangkan
semua kritik itu dikemas dalam sebuah film, tentu akan malah berlebihan. Andaikan
film ini hanya berfokus kepada identitas sebagai permasalahan utama, tentu akan
semakin tajam dan krtis.
Namun demikian, film pemenang Piala Citra 2009 ini telah membuka mata kita bagaimana identitas
di negeri ini adalah permasalahan yang runyam. Mengurus EKTP bukan hanya dalam
hitungan hari, namun bisa minggu, bulan, dan bahkan tahun! Belum lagi kegunaan
huruf “E” dalam “EKTP” yang sepertinya hanya untuk pemanis saja. Ya, negeri ini
memang sedang krisis identitas.
Salam Sinema!!!
Komentar
Posting Komentar