Langsung ke konten utama

Identitas (2009), Lagi-lagi tentang Kuasa dan Marginalitas

 


Siapakah yang membentuk identitas seseorang? Identitas terbentuk karena adanya kuasa. Siapa yang berkuasalah yang berhak membentuk atau menentukan identitas. Film ini berkisah tentang seorang gadis (diperankan Leoni) tanpa identitas yang menjaga ayahnya di rumah sakit. Gadis itu sama sekali tidak beridentitas. Bahkan namapun tidak punya. Rumah kontrakan mereka telah digusur untuk proyek pemerintah. Gadis itupun harus menjadi pramuria untuk mendapatkan uang guna menebus obat ayahnya. Ketika gadis itu tidur di bangku beranda kamar mati, bertemulah ia itu dengan seorang petugas kamar mati (diperankan Tio Pakusadewo) yang bernama Adam. Adam berjanji akan membantu dirinya mengurus kartu tanda miskin yang akan meringankan biaya rumah sakit. Ketika Adam berhasil melobi calon wakil rakyat untuk membantu kepengurusan kartu tanda miskin, gadis itu malah menghilang. Esoknya ditemukan gadis tanpa identitas itu telah mati dengan keadaan telanjang di tepi sungai.

 

Identitas ditentukan oleh siapa yang punya kuasa. Gadis tanpa identitas dan ayahnya hadir sebagai golongan yang lemah. Mereka tertindas dengan tiadanya idetitas. Apalagi mereka adalah minoritas, warga keturunan Tionghoa. Mereka selalu dipandang sebelah mata. Dalam kerapuhan, Adam mencoba membangun identitas dai diri sendiri. Bukan orang lain. Di akhir film, Adam mengungkapkan bahwa mayat gadis tanpa identitas itu adalah istrinya. Demikianlah protes minoritas dalam ranah menemukan identitasnya. Adam mencoba membebaskan dirinya dan gadis tanpa identitas dengan cara memberikan identitas bagi mereka sendiri sebagai suami-istri.

 

Identitas bukan hanya nama, tapi pengakuan dan penghormatan. Tanpa identitas, kita adalah alien. Liyan yang tak dianggap ada. Tanpa identitas, seorang termarginalkan. Sebuah ide film yang sangat mahal, namun sayang dieksekusi dengan sedikit amburadul. Film ini menghadirkan banyak hal yang serba nanggung.  Nyata tidak, mayapun tidak. Seperti setting rumahsakit yang terkesan aneh dan murahan dengan hadirnya suster seksi, orang diperban seluruh tubuh yang mondar-mandir, serta dialog-dialog yang tidak berbobot. Dan satu lagi hal yang disayangkan dari film ini : terlalu banyak kritik yang diangkat sehingga malah kuramg kritis. Film ini ingin mengangkat kritik identitas, politik pilkada, penggusuran, birokrasi yang ruwet, pelayanan kesehatan yang amburadul, hingga kesalehan palsu orang beragama. Bayangkan semua kritik itu dikemas dalam sebuah film, tentu akan malah berlebihan. Andaikan film ini hanya berfokus kepada identitas sebagai permasalahan utama, tentu akan semakin tajam dan krtis.

 

Namun demikian, film pemenang Piala Citra 2009  ini telah membuka mata kita bagaimana identitas di negeri ini adalah permasalahan yang runyam. Mengurus EKTP bukan hanya dalam hitungan hari, namun bisa minggu, bulan, dan bahkan tahun! Belum lagi kegunaan huruf “E” dalam “EKTP” yang sepertinya hanya untuk pemanis saja. Ya, negeri ini memang sedang krisis identitas.

 

Salam Sinema!!!   

Komentar

Postingan populer dari blog ini

The Father (2020), Subjek yang Terlupa

  Anthony menghadapi permasalahan penuaan yang cukup ironis. Ia dibingungkan dengan memorinya sendiri. Ia tidak dapat lagi membedakan siapa, di mana, kapan, dan bagaimana kehidupannya berlalu. Semuanya kacau. Tiba-tiba saja anaknya yang pamit ke Paris muncul dengan sosok yang berbeda. Tiba-tiba saja ia menjumpai sosok menantu yang entah dari mana asalnya. Tiba-tiba saja ia berada di apartemen yang berbeda. Tiba-tiba saja ia tinggal di sebuah panti bersama para perawat. Dalam kebingungan, muncul rasa jengkel, marah, sedih, bahagia, dan pasrah. Film yang sederhana dalam tema namun tidak sederhana dalam merangkai cerita. Bahkan hingga akhir film, penonton pun tidak dapat menemukan mana kehidupan Anthony yang sesungguhnya. Semuanya tumpang tindih campur aduk menjadi satu. Menertawakan Anthony berarti juga menertawakan diri kita sendiri. Menemukan kembali subjek itu memang tidak mudah. Kalau Lacan menerangkan perjumpaan bayi dengan cermin untuk menemukan realitas dirinya, film ini menggamba

Nomadland (2020), Kisah Para Pencari Surga

  Bukankah manusia tercipta pertama kali di alam kebebasan dan tidak berumah? Demikianlah bagaimana film ini mencoba untuk menggambarkan para “pengembara” di Amerika Serikat yang kembali menghayati kehidupan nan bebas bersama mobil van mereka. Bangunan rumah hanyalah kurungan yang mendomestikkan manusia sehingga seringkali kehilangan naluri “kemanusiaannya”. Para pengembara ( nomadland ) di Amerika Serikat membangun sebuah komunitas kekeluargaan yang sangat intim dan dinamis. Sebuah kehidupan yang tidak lazim. Namun inilah gerakan subkultur yang menjadi kritik kemapanan manusia rumahan. Mereka tidak lagi melihat suatu benda dari batasan nilai mata uang, namun dari nilai kenangan yang tak terbatas. Dari sinilah mereka menukarkan barang yang mereka miliki dengan barang sesama pengembara. Mereka bertukar narasi yang tak terbatas oleh nilai mata uang. Oleh karenanya mereka memilih disebut sebagai “ houseless ”. Bukan “ homeless ”. Mereka memang tidak memiliki bangunan untuk ditinggali. Nam

Memories Of Matsuko (2006), Warna-warni Kegelapan

  Siapa yang menyangka, Matsuko, gadis cantik bersuara merdu menjalani kehidupan yang kelam? Berawal dari profesinya sebagai seorang guru SMP yang menghadapi kenakalan anak didiknya, Matsulo harus meninggalkan sekolahan. Ia pun menjadi penyanyi cafe, wanita penghibur, penata rambut, hingga sindikat narkoba. Ia berpindah dari kekasih satu kepada kekasih yang lain. Ia menikmati walau tersakiti. Adalah Sho, keponakan Matsuko yang merangkai cerita memori kehidupan bibinya setelah meninggal di usia 55 tahun. Ia mengumpulkan kepingan-kepingan memori Matsuko sepanjang kariernya hingga dibunuh dengan tragis. Kehidupan yang gelap dihadirkan dengan gemerlap melalui film ini. Menyaksikan film ini mengingatkan kita akan film Amelie. Cerita yang kelam dihadirkan dengan penuh keceriaan. Tanpa sadar film ini mengajak kita untuk melihat segala sesuatu dengan keceriaan. Dalam situasi apapun Matsuko menyelipkan “wajah jelek”nya untuk menghibur kita. Perjalanan hidup memang gelap dan berliku, namun sem