Langsung ke konten utama

Come and See (1985), Panggilan untuk Meratap

 

“Come and See” adalah ucapan yang dikutip dari kitab Wahyu 6 yang mengajak untuk datang dang melihat gambaran-gambaran di akhir jaman. Berulang kali frase ini ditulis di pasal 6 untuk menunjukkan betapa menakutkannya akhir jaman. Dan film Come and See merupakan film yang mengajak untuk melihat ketakutan-ketakutan dalam perang dunia ke-2. Film ini mengisahkan seorang remaja dari sebuah desa di Belarusia, Uni Soviet yang menemukan sepucuk senjata terkubur di dalam tanah. Dengan senjata itu, ia pun bergabung dengan para gerilyawan Belarusia yang tengah bersiap menghadapi infiltrasi Jerman ke Uni Soviet. Namun ketika kembali ke rumah, remaja tersebut menjumpai rumahnya kosong.Ia menerima kabar bahwa ibu dan kedua adik kembarnya sudah dibunuh pasukan Nazi yang menyerbu kempung mereka. Dalam perjalanan selanjutnya, remaja tadi menjumpai banyak peristiwa yang sangat memilukan. Ia menyaksikan tentara Jerman dengan kejam menyiksa, membunuh, memerkosa warga Belarusia dalam gelak tawa memuakkan. Peristiwa yang paling tragis dalam film ini adalah saat tentara Jerman mengumpulkan warga desa ke dalam sebuah bangunan tua, mengancing pintunya, dan kemudian membakar sampai habis menyisakan abu. Setelah peristiwa pembakaran gedung tua tersebut, munculah pembalasan dari para gerilyawan yang menyandra sejumah tentara Nazi yang tertangkap. Mereka menghujani tentara Nazi dengan rentetan peluru hingga tak tersisa satu nafaspun. Mata ganti mata, gigi ganti gigi. Semua adalah korban!

 

Datang dan lihatlah kengerian perang, di mana manusia menjadi lebih hina dari binatang. Perang seperti halnya akhir jaman yang penuh dengan ratapan. Aleksei Kravchenko mampu memerankan Florya, remaja yang menyaksikan kejamnya perang, dengan begitu baik. Raut mukanya benar-benar mampu memancarkan ketakutan dan kepedihan mendalam. Remaja memang fase pencarian di mana seseorang mencari siapa sebenarnya dirinya dan ke mana ia harus membangun kehidupannya. Dan dendam kebencian terhadap lawan peranglah yang terpupuk dalam diri Florya. Di akhir film, Florya memberondong gambar Hitler dengan senapannya. Ia melampiaskan rasa bencinya setelah menyaksikan ratusan – bahkan ribuan orang dianiaya, dibunuh, diperkosa, dan dibakar.

 

Come and See... datang dan lihatlah amarah, rasa kecewa, duka, dan trauma melebur dalam jiwa yang rapuh. Film yang menggugah kesadaran kita terhadap hadirnya mereka yang berbeda, bukanlah musuh. Musuh kita adalah diri kita sendiri.

 

Salam Sinema!!!   

Komentar

Postingan populer dari blog ini

The Father (2020), Subjek yang Terlupa

  Anthony menghadapi permasalahan penuaan yang cukup ironis. Ia dibingungkan dengan memorinya sendiri. Ia tidak dapat lagi membedakan siapa, di mana, kapan, dan bagaimana kehidupannya berlalu. Semuanya kacau. Tiba-tiba saja anaknya yang pamit ke Paris muncul dengan sosok yang berbeda. Tiba-tiba saja ia menjumpai sosok menantu yang entah dari mana asalnya. Tiba-tiba saja ia berada di apartemen yang berbeda. Tiba-tiba saja ia tinggal di sebuah panti bersama para perawat. Dalam kebingungan, muncul rasa jengkel, marah, sedih, bahagia, dan pasrah. Film yang sederhana dalam tema namun tidak sederhana dalam merangkai cerita. Bahkan hingga akhir film, penonton pun tidak dapat menemukan mana kehidupan Anthony yang sesungguhnya. Semuanya tumpang tindih campur aduk menjadi satu. Menertawakan Anthony berarti juga menertawakan diri kita sendiri. Menemukan kembali subjek itu memang tidak mudah. Kalau Lacan menerangkan perjumpaan bayi dengan cermin untuk menemukan realitas dirinya, film ini menggamba

Nomadland (2020), Kisah Para Pencari Surga

  Bukankah manusia tercipta pertama kali di alam kebebasan dan tidak berumah? Demikianlah bagaimana film ini mencoba untuk menggambarkan para “pengembara” di Amerika Serikat yang kembali menghayati kehidupan nan bebas bersama mobil van mereka. Bangunan rumah hanyalah kurungan yang mendomestikkan manusia sehingga seringkali kehilangan naluri “kemanusiaannya”. Para pengembara ( nomadland ) di Amerika Serikat membangun sebuah komunitas kekeluargaan yang sangat intim dan dinamis. Sebuah kehidupan yang tidak lazim. Namun inilah gerakan subkultur yang menjadi kritik kemapanan manusia rumahan. Mereka tidak lagi melihat suatu benda dari batasan nilai mata uang, namun dari nilai kenangan yang tak terbatas. Dari sinilah mereka menukarkan barang yang mereka miliki dengan barang sesama pengembara. Mereka bertukar narasi yang tak terbatas oleh nilai mata uang. Oleh karenanya mereka memilih disebut sebagai “ houseless ”. Bukan “ homeless ”. Mereka memang tidak memiliki bangunan untuk ditinggali. Nam

Memories Of Matsuko (2006), Warna-warni Kegelapan

  Siapa yang menyangka, Matsuko, gadis cantik bersuara merdu menjalani kehidupan yang kelam? Berawal dari profesinya sebagai seorang guru SMP yang menghadapi kenakalan anak didiknya, Matsulo harus meninggalkan sekolahan. Ia pun menjadi penyanyi cafe, wanita penghibur, penata rambut, hingga sindikat narkoba. Ia berpindah dari kekasih satu kepada kekasih yang lain. Ia menikmati walau tersakiti. Adalah Sho, keponakan Matsuko yang merangkai cerita memori kehidupan bibinya setelah meninggal di usia 55 tahun. Ia mengumpulkan kepingan-kepingan memori Matsuko sepanjang kariernya hingga dibunuh dengan tragis. Kehidupan yang gelap dihadirkan dengan gemerlap melalui film ini. Menyaksikan film ini mengingatkan kita akan film Amelie. Cerita yang kelam dihadirkan dengan penuh keceriaan. Tanpa sadar film ini mengajak kita untuk melihat segala sesuatu dengan keceriaan. Dalam situasi apapun Matsuko menyelipkan “wajah jelek”nya untuk menghibur kita. Perjalanan hidup memang gelap dan berliku, namun sem