Langsung ke konten utama

To Live (1994), Kesetiaan dalam Arus Revolusi

 

Gong Li memang seorang artis film Mandarin yang sangat lihai dalam memerankan karakter tokoh yang hidupnya menderita. Wajahnya yang dingin memancarkan aura keprihatinan. Sebutlah beberapa film yang dibintangi Gong Li seperti Red Sorghum, Raise the Red Lantern, serta Farewell of Concubine yang menghadirkan sosok perempuan penuh dengan kemalangan. Demikian pula dalam film To Live ini, Gong Li mampu menampilkan sosok seorang istri yang berkali-kali menanggung penderitaan karena permasalahan politik di China.

To Live merupakan film yang mengisahkan perjalanan sebuah keluarga miskin menghadapi gonjang-ganjing revolusi di China. Pada awalnya Fugui dan Jiazhen adalah keluarga berada karena warisan harta serta rumah orang tua mereka yang megah. Namun ketika Fugui jatuh dalam permainan judi, mereka harus kehilangan harta benda termasuk rumah yang megah yang telah dipertaruhkan di meja judi. Mereka pun menjadi keluarga miskin yang serba kekurangan. Fugui mencoba mengadu nasib dengan menjadi penyanyi bersama rombongan wayang China. Tahun 1949 meletuslah revolusi China di mana komunisme mengambil alih pemerintahan. Fugui dengan rombongan wayangnya menjadi bagian perang saudara tersebut. Fugui pada awalnya membela pejuang nasionalis karena wajib militer. Namun setelah nasionalis kalah, Fugui pun mengikuti arus dengan membela komunis. Untunglah Fugui kembali dari peperangan dengan selamat dan berjumpa lagi dengan anak istrinya.

Namun demikian, permasalahan keluarga Fugui belum berakhir. Mereka harus kehilangan anak bungsu yang laki-laki karena tertabrak truk yang sedang mundur (bahasa Jawanya “kunduran truk”). Luka kehilangan itu berangsur sembuh ketika sepuluh tahun kemudian anak pertama mereka dilamar dan menikah dengan seorang pejuang revolusi. Malang tak dapat diduga, ketika melahirkan, anak pertama Fugui mengalami pendarahan dan meninggal. Beruntung bayinya selamat dan sehat. Demikianlah hitam putih perjalanan Fugui dan Jiazhen dalam menjalani kehidupan berlatarkan revolusi politik di China.      

Film ini menggambarkan keluarga kelas buruh yang meskipun hidupnya susah tapi beruntung. Karena kejayaan sosialis komunis, maka kehidupan masyarakat kelas bawah aman dan terjamin. Nasib yang berbeda dialami orang yang mengalahkan Fugui di meja judi. Ketika berhasil mendapatkan harta dan rumah Fugui, seiring revolusi sosialis, lawan judi Fugui itu akhirnya dihukum mati karena dianggap pro kapitalis. Andai saja dulu Fugui tidak kalah judi, kemungkinan dialah yang dihukum mati.  

Demikianlah film dapat berbicara tentang ideologi. Mao Zedong menjadi tokoh yang sangat dipuja dalam film ini. Tembok di depan rumah kecil milik Fugui digambari mural gambar Mao. Merekapun berfoto bersama ketika  pernikahan putrinya dengan berlatar belakang mural Mao. Bahkan mars revolusi Mao pun dikumandangkan bersama dalam film ini saat pernikahan putri Fugui. Film ini memang mengangkat komunis sebagai ideologi yang menyejahterakan rakyat kecil. Pemerintah bahkan memberi pekerjaan kepada Fugui serta istrinya, makanan bakmi gratis bagi masyarakat, serta pembagian pangsit babi sebagai bonus tercapainya target peleburan baja pemerintah. Namun film ini juga melihat sisi hitam revolusi sosialis di mana banyak pembangkang yang dihukum mati. Wayang-wayang milik Fugui pun harus dibakar supaya tidak membahayakan. Kekuatan film ini adalah keharmonisan Fugui dan istrinya. Dalam situasi yang seperti apapun, Jiazen mendampingi Fugui dengan setia menghadapi gonjang-ganjing revolusi sosialis di China. Wajah dingin Gong Li bukan hanya memancarkan keprihatinan, tapi juga ketangguhan dan kesetiaan.

 

Salam Sinema!!!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

The Father (2020), Subjek yang Terlupa

  Anthony menghadapi permasalahan penuaan yang cukup ironis. Ia dibingungkan dengan memorinya sendiri. Ia tidak dapat lagi membedakan siapa, di mana, kapan, dan bagaimana kehidupannya berlalu. Semuanya kacau. Tiba-tiba saja anaknya yang pamit ke Paris muncul dengan sosok yang berbeda. Tiba-tiba saja ia menjumpai sosok menantu yang entah dari mana asalnya. Tiba-tiba saja ia berada di apartemen yang berbeda. Tiba-tiba saja ia tinggal di sebuah panti bersama para perawat. Dalam kebingungan, muncul rasa jengkel, marah, sedih, bahagia, dan pasrah. Film yang sederhana dalam tema namun tidak sederhana dalam merangkai cerita. Bahkan hingga akhir film, penonton pun tidak dapat menemukan mana kehidupan Anthony yang sesungguhnya. Semuanya tumpang tindih campur aduk menjadi satu. Menertawakan Anthony berarti juga menertawakan diri kita sendiri. Menemukan kembali subjek itu memang tidak mudah. Kalau Lacan menerangkan perjumpaan bayi dengan cermin untuk menemukan realitas dirinya, film ini menggamba

Nomadland (2020), Kisah Para Pencari Surga

  Bukankah manusia tercipta pertama kali di alam kebebasan dan tidak berumah? Demikianlah bagaimana film ini mencoba untuk menggambarkan para “pengembara” di Amerika Serikat yang kembali menghayati kehidupan nan bebas bersama mobil van mereka. Bangunan rumah hanyalah kurungan yang mendomestikkan manusia sehingga seringkali kehilangan naluri “kemanusiaannya”. Para pengembara ( nomadland ) di Amerika Serikat membangun sebuah komunitas kekeluargaan yang sangat intim dan dinamis. Sebuah kehidupan yang tidak lazim. Namun inilah gerakan subkultur yang menjadi kritik kemapanan manusia rumahan. Mereka tidak lagi melihat suatu benda dari batasan nilai mata uang, namun dari nilai kenangan yang tak terbatas. Dari sinilah mereka menukarkan barang yang mereka miliki dengan barang sesama pengembara. Mereka bertukar narasi yang tak terbatas oleh nilai mata uang. Oleh karenanya mereka memilih disebut sebagai “ houseless ”. Bukan “ homeless ”. Mereka memang tidak memiliki bangunan untuk ditinggali. Nam

Memories Of Matsuko (2006), Warna-warni Kegelapan

  Siapa yang menyangka, Matsuko, gadis cantik bersuara merdu menjalani kehidupan yang kelam? Berawal dari profesinya sebagai seorang guru SMP yang menghadapi kenakalan anak didiknya, Matsulo harus meninggalkan sekolahan. Ia pun menjadi penyanyi cafe, wanita penghibur, penata rambut, hingga sindikat narkoba. Ia berpindah dari kekasih satu kepada kekasih yang lain. Ia menikmati walau tersakiti. Adalah Sho, keponakan Matsuko yang merangkai cerita memori kehidupan bibinya setelah meninggal di usia 55 tahun. Ia mengumpulkan kepingan-kepingan memori Matsuko sepanjang kariernya hingga dibunuh dengan tragis. Kehidupan yang gelap dihadirkan dengan gemerlap melalui film ini. Menyaksikan film ini mengingatkan kita akan film Amelie. Cerita yang kelam dihadirkan dengan penuh keceriaan. Tanpa sadar film ini mengajak kita untuk melihat segala sesuatu dengan keceriaan. Dalam situasi apapun Matsuko menyelipkan “wajah jelek”nya untuk menghibur kita. Perjalanan hidup memang gelap dan berliku, namun sem