Langsung ke konten utama

Hiroshima Mon Amour (1959), Mengenang Sejarah dan Membangun Harapan (edisi mengenang peristiwa Hiroshima-Nagasaki)


Catatan ini dibuat untuk mengenang peristiwa 6 Agustus 1945 saat Amerika meluluh lantahkan Hiroshima dengan bom atom. Menyusul tiga hari kemudian Nagasaki yang juga dihancurkan dengan cara yang sama. Inilah akhir Perang Dunia ke-2 yang menyisakan trauma dan nestapa. Jutaan korban jiwa adalah bukti betapa sadisnya manusia ketika berhadapan dengan kuasa.

 

Film ini berlatar belakang keadaan Jepang paska Perang Dunia ke-2, di mana Jepang telah pulih kembali dari kehancuran. Hiroshima kembali menjadi kota yang “tak pernah tertidur”. Diceritakan seorang artis dari Perancis yang berkunjung ke Jepang untuk membuat film perdamaian. Di awal film dimunculkan tayangan dokumenter peristiwa bom atom yang terjadi di Hiroshima. Dikenalkan pula hadirnya museum untuk mengenang tragedi naas tersebut. Dari sinilah muncul ajakan menolak perang melalui film yang sedang dalam proses pembuatan. Artis Perancis tadi dikisahkan menjalin asmara dengan seorang arsitek Jepang. Percakapan keduanya mendominasi jalannya film ini. Sang artis mengenang cinta pertamanya dengan seorang tentara Jerman. Karena kedekatannya dengan tentara Jerman, ia pun dikucilkan oleh masyarakat. Dan ketika menjumpai kekasihnya tertembak mati, ia pun merasa begitu terpukul. Anehnya, sang arsitek merasa bahwa tentara Jerman itu adalah dirinya. Dari sinilah muncul keintiman antara sang artis dengan sang arsitek. Sang artis merasa sang arsitek itu adalah bagian dari masa lalunya.  Hingga tibalah saatnya sang artis untuk menentukan pilihan : akan kembali ke Perancis atau tinggal di Jepang bersama sang arsitek. Sebuah pergumulan yang tidak mudah dan juga tidak terjawab hingga akhir film.

 

Hiroshima Mon Amour adalah film yang menunjukkan keindahan relasi yang terjalin, mewakili dua negara yang dulunya bertentangan : Jepang dengan Perancis. Masa lalu yang kelam tidak pernah bisa dilupakan namun luka batin harus dipulihkan. Masa lalu artis Perancis yang kelam akan tetap melekat dalam ingatannya. Namun kehidupan haruslah terus berjalan dengan membangun harapan. Perjalanan artis Perancis itu adalah gambaran kota Hiroshima (dan Nagasaki) yang akan tetap mengenang sejarah kelamnya. Kepahitan masa lalu memang tak dapat dihapuskan dari kehidupan. Namun harapan yang indah di masa depan itu bisa dikejar dan dibangun.

 

Saalam Sinema!!!

 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

The Father (2020), Subjek yang Terlupa

  Anthony menghadapi permasalahan penuaan yang cukup ironis. Ia dibingungkan dengan memorinya sendiri. Ia tidak dapat lagi membedakan siapa, di mana, kapan, dan bagaimana kehidupannya berlalu. Semuanya kacau. Tiba-tiba saja anaknya yang pamit ke Paris muncul dengan sosok yang berbeda. Tiba-tiba saja ia menjumpai sosok menantu yang entah dari mana asalnya. Tiba-tiba saja ia berada di apartemen yang berbeda. Tiba-tiba saja ia tinggal di sebuah panti bersama para perawat. Dalam kebingungan, muncul rasa jengkel, marah, sedih, bahagia, dan pasrah. Film yang sederhana dalam tema namun tidak sederhana dalam merangkai cerita. Bahkan hingga akhir film, penonton pun tidak dapat menemukan mana kehidupan Anthony yang sesungguhnya. Semuanya tumpang tindih campur aduk menjadi satu. Menertawakan Anthony berarti juga menertawakan diri kita sendiri. Menemukan kembali subjek itu memang tidak mudah. Kalau Lacan menerangkan perjumpaan bayi dengan cermin untuk menemukan realitas dirinya, film ini menggamba

Nomadland (2020), Kisah Para Pencari Surga

  Bukankah manusia tercipta pertama kali di alam kebebasan dan tidak berumah? Demikianlah bagaimana film ini mencoba untuk menggambarkan para “pengembara” di Amerika Serikat yang kembali menghayati kehidupan nan bebas bersama mobil van mereka. Bangunan rumah hanyalah kurungan yang mendomestikkan manusia sehingga seringkali kehilangan naluri “kemanusiaannya”. Para pengembara ( nomadland ) di Amerika Serikat membangun sebuah komunitas kekeluargaan yang sangat intim dan dinamis. Sebuah kehidupan yang tidak lazim. Namun inilah gerakan subkultur yang menjadi kritik kemapanan manusia rumahan. Mereka tidak lagi melihat suatu benda dari batasan nilai mata uang, namun dari nilai kenangan yang tak terbatas. Dari sinilah mereka menukarkan barang yang mereka miliki dengan barang sesama pengembara. Mereka bertukar narasi yang tak terbatas oleh nilai mata uang. Oleh karenanya mereka memilih disebut sebagai “ houseless ”. Bukan “ homeless ”. Mereka memang tidak memiliki bangunan untuk ditinggali. Nam

Memories Of Matsuko (2006), Warna-warni Kegelapan

  Siapa yang menyangka, Matsuko, gadis cantik bersuara merdu menjalani kehidupan yang kelam? Berawal dari profesinya sebagai seorang guru SMP yang menghadapi kenakalan anak didiknya, Matsulo harus meninggalkan sekolahan. Ia pun menjadi penyanyi cafe, wanita penghibur, penata rambut, hingga sindikat narkoba. Ia berpindah dari kekasih satu kepada kekasih yang lain. Ia menikmati walau tersakiti. Adalah Sho, keponakan Matsuko yang merangkai cerita memori kehidupan bibinya setelah meninggal di usia 55 tahun. Ia mengumpulkan kepingan-kepingan memori Matsuko sepanjang kariernya hingga dibunuh dengan tragis. Kehidupan yang gelap dihadirkan dengan gemerlap melalui film ini. Menyaksikan film ini mengingatkan kita akan film Amelie. Cerita yang kelam dihadirkan dengan penuh keceriaan. Tanpa sadar film ini mengajak kita untuk melihat segala sesuatu dengan keceriaan. Dalam situasi apapun Matsuko menyelipkan “wajah jelek”nya untuk menghibur kita. Perjalanan hidup memang gelap dan berliku, namun sem