Langsung ke konten utama

Tabula Rasa (2014), Rasa yang Menuai Kenangan



Lagi-lagi tentang kuliner. Kali ini mengangkat kuliner yang sudah sangat tersohor, yakni masakan Padang. Hans, remaja Papua mengadu nasib di Jakarta sebagai pemain sepak bola. Sayang ketika ia cidera, klubnya tidak mau membayar biaya operasi. Jadilah Hans menjadi pincang dan terlantar di ibu kota karena klubnya telah mencampakkan dirinya. Beruntung, Hans ditemukan oleh Mak, seorang pemilik rumah makan Padang. Di rumah makan Padang yang sederhana itulah perlahan Hans belajar memasak. Pada awalnya Mak enggan untuk mengolah gulai kepala ikan, karena mengingatkannya kepada anaknya yang meninggal pada saat gempa bumi melanda Padang tahun 2009. Namun karena bujukan Hans, Mak-pun bersedia memasak kembali masakan spesialnya, yakni gulai kepala ikan. Kehadiran Hans mampu membuat rumah makan Mak yang tadinya sepi pengunjung menjadi ramai. Sebuah persilangan budaya yang menarik ketika Hans, seorang Papua menjadi juru masak di rumah makan Padang.

 

Film ini juga mengisahkan persaingan rumah makan Padang milik Mak yang sangat sederhana dengan rumah makan Padang besar yang baru saja dibangun tepat di seberang jalan rumah makan Mak. Ibarat Daud dan Goliat, tentu ini adalah persaingan yang tidak seimbang. Apalagi ada seorang juru masak dari rumah makan Mak yang bernama Parmanto yang memilih pindah ke rumah makan seberang yang lebih besar dan menjanjikan. Pada awalnya rumah makan di seberang mampu menarik banyak pengunjung karena tempatnya nyaman dan bersih. Namun karena masakan gulai kepala ikan Mak yang istimewa, pengunjungpun beralih ke rumah makan Mak. Momen yang cukup menyentuh dari film ini adalah ketika Parmanto diam-diam mencicipi gulai kepala ikan khas masakan Mak. Tangis Parmanto pun meleleh karena masakan gulai kepala ikan itu benar-benar mengingatkan akan kampung halamannya. Inilah momen penyesalan Parmanto yang telah mengkhianati rumah makan Mak tempat dulu mereka berjuang bersama.

 

Tabula Rasa adalah saat di mana manusia mengawali kehidupannya dari kekosongan. Masakan daerah adalah media yang membawa kita kepada masa lalu di mana kita berasal. Tangis Parmanto adalah momen di mana ia mengingat siapa sejatinya manusia yang berasal dari rahim sang ibu. Di tengah film inipun sekilas Hans membuat dan menikmati papeda dan mengajarkan kepada Mak cara memakan papeda. Papeda adalah bagian dari sejarah Hans di mana dengan menghirup papeda, Hans kembali merasakan murninya alam Papua. Film ini bukan hanya mengangkat masakan Padang dengan kuah santan kentalnya yang begitu wangi, namun juga mengajak untuk kembali melihat hakikat manusia yang lahir dari kepolosan. Dari sanalah kita menentukan arah kehidupan.  

 

Salam Sinema!!!


Komentar

Postingan populer dari blog ini

The Father (2020), Subjek yang Terlupa

  Anthony menghadapi permasalahan penuaan yang cukup ironis. Ia dibingungkan dengan memorinya sendiri. Ia tidak dapat lagi membedakan siapa, di mana, kapan, dan bagaimana kehidupannya berlalu. Semuanya kacau. Tiba-tiba saja anaknya yang pamit ke Paris muncul dengan sosok yang berbeda. Tiba-tiba saja ia menjumpai sosok menantu yang entah dari mana asalnya. Tiba-tiba saja ia berada di apartemen yang berbeda. Tiba-tiba saja ia tinggal di sebuah panti bersama para perawat. Dalam kebingungan, muncul rasa jengkel, marah, sedih, bahagia, dan pasrah. Film yang sederhana dalam tema namun tidak sederhana dalam merangkai cerita. Bahkan hingga akhir film, penonton pun tidak dapat menemukan mana kehidupan Anthony yang sesungguhnya. Semuanya tumpang tindih campur aduk menjadi satu. Menertawakan Anthony berarti juga menertawakan diri kita sendiri. Menemukan kembali subjek itu memang tidak mudah. Kalau Lacan menerangkan perjumpaan bayi dengan cermin untuk menemukan realitas dirinya, film ini menggamba

Nomadland (2020), Kisah Para Pencari Surga

  Bukankah manusia tercipta pertama kali di alam kebebasan dan tidak berumah? Demikianlah bagaimana film ini mencoba untuk menggambarkan para “pengembara” di Amerika Serikat yang kembali menghayati kehidupan nan bebas bersama mobil van mereka. Bangunan rumah hanyalah kurungan yang mendomestikkan manusia sehingga seringkali kehilangan naluri “kemanusiaannya”. Para pengembara ( nomadland ) di Amerika Serikat membangun sebuah komunitas kekeluargaan yang sangat intim dan dinamis. Sebuah kehidupan yang tidak lazim. Namun inilah gerakan subkultur yang menjadi kritik kemapanan manusia rumahan. Mereka tidak lagi melihat suatu benda dari batasan nilai mata uang, namun dari nilai kenangan yang tak terbatas. Dari sinilah mereka menukarkan barang yang mereka miliki dengan barang sesama pengembara. Mereka bertukar narasi yang tak terbatas oleh nilai mata uang. Oleh karenanya mereka memilih disebut sebagai “ houseless ”. Bukan “ homeless ”. Mereka memang tidak memiliki bangunan untuk ditinggali. Nam

Memories Of Matsuko (2006), Warna-warni Kegelapan

  Siapa yang menyangka, Matsuko, gadis cantik bersuara merdu menjalani kehidupan yang kelam? Berawal dari profesinya sebagai seorang guru SMP yang menghadapi kenakalan anak didiknya, Matsulo harus meninggalkan sekolahan. Ia pun menjadi penyanyi cafe, wanita penghibur, penata rambut, hingga sindikat narkoba. Ia berpindah dari kekasih satu kepada kekasih yang lain. Ia menikmati walau tersakiti. Adalah Sho, keponakan Matsuko yang merangkai cerita memori kehidupan bibinya setelah meninggal di usia 55 tahun. Ia mengumpulkan kepingan-kepingan memori Matsuko sepanjang kariernya hingga dibunuh dengan tragis. Kehidupan yang gelap dihadirkan dengan gemerlap melalui film ini. Menyaksikan film ini mengingatkan kita akan film Amelie. Cerita yang kelam dihadirkan dengan penuh keceriaan. Tanpa sadar film ini mengajak kita untuk melihat segala sesuatu dengan keceriaan. Dalam situasi apapun Matsuko menyelipkan “wajah jelek”nya untuk menghibur kita. Perjalanan hidup memang gelap dan berliku, namun sem