Langsung ke konten utama

Taste of Cherry (1997), Memaknai Kembali Kehidupan



Film ini mengisahkan seorang paruh baya bernama Badii yang ingin mengakhiri hidupnya karena permasalahan berat yang dialami. Ia mencari orang yang bersedia menguburkan tubuhnya ketika nanti telah mati. Orang pertama adalah seorang tentara amatir yang harus mencari tambahan penghasilan sebagai buruh proyek. Orang itu tidak berani dan malah melarikan diri. Orang kedua adalah seorang mahasiswa teologi yang sedang mendalami ajaran agama Islam. Mendengar Badii akan melakukan bunuh diri, mahasiswa tersebut malah memberikan nasihat macam-macam dan melarang untuk bunuh diri. Orang ketiga adalah seorang pegawai museum. Ia bersedia menguburkan tubuh Badii ketika sudah mati. Pegawai museum tersebut bercerita kalau dulu ia juga pernah seperti Badii. Ia ingin mengakhiri hidupnya dengan menggantung diri di pohon ceri. Tapi ketika buah ceri berjatuhan, ia merasakan manisnya buah itu. Rasa buah ceri yang manis ternyata mengingatkan dirinya akan kehidupan yang sebenarnya juga manis dan indah. Tinggal bagaimana kita memaknainya. Perjumpaan dengan pegawai museum tersebut malah membuat Badii berpikir ulang akan rencananya. Ia melihat dan memaknai lagi hidupnya yang berantakan dan memutuskan untuk melanjutkan hidupnya.

 

Film ini adalah karya sutradara Iran yang tersohor, Abbas Kiarostami. Sepanjang film ini didominasi adegan percakapan di dalam mobil berlatar belakang tandusnya padang gurun di Iran. Dialog dalam film ini mengajak kita untuk berefleksi tentang kehidupan. Dari tiga orang yang diminta tolong untuk menguburkan tubuh Badii, kita bisa melihat beragam karakter yang muncul ketika bersinggungan dengan kehidupan dan kematian. Ada yang begitu naif hingga memunculkan ketakutan, ada yang begitu sok bijak hingga memunculkan nasihat-nasihat yang tidak tepat, dan ada juga yang menjawab dengan pengalaman. Film ini mengajak kita untuk melihat dalam hidup kita yang semanis buah ceri. Tinggal kita sendiri  mau merasakannya atau malah membuangnya.

 

Salam Sinema!!  


Komentar

Postingan populer dari blog ini

The Father (2020), Subjek yang Terlupa

  Anthony menghadapi permasalahan penuaan yang cukup ironis. Ia dibingungkan dengan memorinya sendiri. Ia tidak dapat lagi membedakan siapa, di mana, kapan, dan bagaimana kehidupannya berlalu. Semuanya kacau. Tiba-tiba saja anaknya yang pamit ke Paris muncul dengan sosok yang berbeda. Tiba-tiba saja ia menjumpai sosok menantu yang entah dari mana asalnya. Tiba-tiba saja ia berada di apartemen yang berbeda. Tiba-tiba saja ia tinggal di sebuah panti bersama para perawat. Dalam kebingungan, muncul rasa jengkel, marah, sedih, bahagia, dan pasrah. Film yang sederhana dalam tema namun tidak sederhana dalam merangkai cerita. Bahkan hingga akhir film, penonton pun tidak dapat menemukan mana kehidupan Anthony yang sesungguhnya. Semuanya tumpang tindih campur aduk menjadi satu. Menertawakan Anthony berarti juga menertawakan diri kita sendiri. Menemukan kembali subjek itu memang tidak mudah. Kalau Lacan menerangkan perjumpaan bayi dengan cermin untuk menemukan realitas dirinya, film ini menggamba

Nomadland (2020), Kisah Para Pencari Surga

  Bukankah manusia tercipta pertama kali di alam kebebasan dan tidak berumah? Demikianlah bagaimana film ini mencoba untuk menggambarkan para “pengembara” di Amerika Serikat yang kembali menghayati kehidupan nan bebas bersama mobil van mereka. Bangunan rumah hanyalah kurungan yang mendomestikkan manusia sehingga seringkali kehilangan naluri “kemanusiaannya”. Para pengembara ( nomadland ) di Amerika Serikat membangun sebuah komunitas kekeluargaan yang sangat intim dan dinamis. Sebuah kehidupan yang tidak lazim. Namun inilah gerakan subkultur yang menjadi kritik kemapanan manusia rumahan. Mereka tidak lagi melihat suatu benda dari batasan nilai mata uang, namun dari nilai kenangan yang tak terbatas. Dari sinilah mereka menukarkan barang yang mereka miliki dengan barang sesama pengembara. Mereka bertukar narasi yang tak terbatas oleh nilai mata uang. Oleh karenanya mereka memilih disebut sebagai “ houseless ”. Bukan “ homeless ”. Mereka memang tidak memiliki bangunan untuk ditinggali. Nam

Memories Of Matsuko (2006), Warna-warni Kegelapan

  Siapa yang menyangka, Matsuko, gadis cantik bersuara merdu menjalani kehidupan yang kelam? Berawal dari profesinya sebagai seorang guru SMP yang menghadapi kenakalan anak didiknya, Matsulo harus meninggalkan sekolahan. Ia pun menjadi penyanyi cafe, wanita penghibur, penata rambut, hingga sindikat narkoba. Ia berpindah dari kekasih satu kepada kekasih yang lain. Ia menikmati walau tersakiti. Adalah Sho, keponakan Matsuko yang merangkai cerita memori kehidupan bibinya setelah meninggal di usia 55 tahun. Ia mengumpulkan kepingan-kepingan memori Matsuko sepanjang kariernya hingga dibunuh dengan tragis. Kehidupan yang gelap dihadirkan dengan gemerlap melalui film ini. Menyaksikan film ini mengingatkan kita akan film Amelie. Cerita yang kelam dihadirkan dengan penuh keceriaan. Tanpa sadar film ini mengajak kita untuk melihat segala sesuatu dengan keceriaan. Dalam situasi apapun Matsuko menyelipkan “wajah jelek”nya untuk menghibur kita. Perjalanan hidup memang gelap dan berliku, namun sem