Langsung ke konten utama

12 Years a Slave (2013), Matinya Rasa Kemanusiaan




Nama adalah sebuah identitas yang melekat dalam kehidupan seseorang. Di dalam sebuah nama bisa dijumpai harapan, penanda, sejarah, bahkan doa. Ketika nama itu ditiadakan dan diganti dengan nama yang lain, bisa menjadi sebuah penghinaan yang luar biasa. Dalam film ini, Solomon, seorang tukang kayu dan musisi kulit hitam dari kalangan menengah dijebak dan dijual sebagai budak. Ia dipisahkan begitu saja dari keluarga dan komunitasnya, dipaksa masuk ke dalam kehidupan yang baru sebagai budak. Nama Solomon diganti menjadi Platt. Sebuah nama yang singkat, hanya satu suku kata, dan tanpa makna.    

Dua belas tahun adalah masa di mana Platt berpetualang sebagai budak. Beberapa kali ia dijual-belikan untuk dipekerjakan layaknya ternak. Penindasan adalah pemandangan yang setiap hari dijumpainya. Hukuman cambuk yang merobek kulit hingga daging menjadi sahabat bagi para budak. Beberapa kali Platt mencoba melarikan diri, tapi malah dikhianati. Hingga suatu saat, ia berjumpa dengan seorang Sheriff lokal yang melihat Platt tidak seharusnya berada di sana sebagai budak. Melalui Sheriff tersebut, Platt akhirnya terbebas dari perbudakan dan kembali ke dalam kehidupannya sebagai manusia yang bebas. Ia bukan lagi Platt, tapi kembali menjadi seorang Solomon.

Film yang mencoba mengangkat masa kelam Amerika Serikat pada tahun 1840-an, di mana perbudakan masih menjadi budaya yang dibanggakan. Budak digambarkan begitu hina. Ditelanjangi, dipisahkan dari keluarga, diperkosa, dicambuk, hingga digantung... semuanya jelas tergambar di dalam film ini sebagai realita yang pernah nyata terjadi. Film ini memang mencoba mengangkat teriak kesakitan dan air mata para budak sebagai sebuah karya seni yang mengetuk nurani kita dengan refleksi keprihatinan. Salah satu wujud menjunjung tinggi nilai kemanusiaan adalah dengan menghargai nama yang melekat sebagai identitas, harapan, sejarah, serta doa.

Salam Sinema!!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

The Father (2020), Subjek yang Terlupa

  Anthony menghadapi permasalahan penuaan yang cukup ironis. Ia dibingungkan dengan memorinya sendiri. Ia tidak dapat lagi membedakan siapa, di mana, kapan, dan bagaimana kehidupannya berlalu. Semuanya kacau. Tiba-tiba saja anaknya yang pamit ke Paris muncul dengan sosok yang berbeda. Tiba-tiba saja ia menjumpai sosok menantu yang entah dari mana asalnya. Tiba-tiba saja ia berada di apartemen yang berbeda. Tiba-tiba saja ia tinggal di sebuah panti bersama para perawat. Dalam kebingungan, muncul rasa jengkel, marah, sedih, bahagia, dan pasrah. Film yang sederhana dalam tema namun tidak sederhana dalam merangkai cerita. Bahkan hingga akhir film, penonton pun tidak dapat menemukan mana kehidupan Anthony yang sesungguhnya. Semuanya tumpang tindih campur aduk menjadi satu. Menertawakan Anthony berarti juga menertawakan diri kita sendiri. Menemukan kembali subjek itu memang tidak mudah. Kalau Lacan menerangkan perjumpaan bayi dengan cermin untuk menemukan realitas dirinya, film ini menggamba

Nomadland (2020), Kisah Para Pencari Surga

  Bukankah manusia tercipta pertama kali di alam kebebasan dan tidak berumah? Demikianlah bagaimana film ini mencoba untuk menggambarkan para “pengembara” di Amerika Serikat yang kembali menghayati kehidupan nan bebas bersama mobil van mereka. Bangunan rumah hanyalah kurungan yang mendomestikkan manusia sehingga seringkali kehilangan naluri “kemanusiaannya”. Para pengembara ( nomadland ) di Amerika Serikat membangun sebuah komunitas kekeluargaan yang sangat intim dan dinamis. Sebuah kehidupan yang tidak lazim. Namun inilah gerakan subkultur yang menjadi kritik kemapanan manusia rumahan. Mereka tidak lagi melihat suatu benda dari batasan nilai mata uang, namun dari nilai kenangan yang tak terbatas. Dari sinilah mereka menukarkan barang yang mereka miliki dengan barang sesama pengembara. Mereka bertukar narasi yang tak terbatas oleh nilai mata uang. Oleh karenanya mereka memilih disebut sebagai “ houseless ”. Bukan “ homeless ”. Mereka memang tidak memiliki bangunan untuk ditinggali. Nam

Memories Of Matsuko (2006), Warna-warni Kegelapan

  Siapa yang menyangka, Matsuko, gadis cantik bersuara merdu menjalani kehidupan yang kelam? Berawal dari profesinya sebagai seorang guru SMP yang menghadapi kenakalan anak didiknya, Matsulo harus meninggalkan sekolahan. Ia pun menjadi penyanyi cafe, wanita penghibur, penata rambut, hingga sindikat narkoba. Ia berpindah dari kekasih satu kepada kekasih yang lain. Ia menikmati walau tersakiti. Adalah Sho, keponakan Matsuko yang merangkai cerita memori kehidupan bibinya setelah meninggal di usia 55 tahun. Ia mengumpulkan kepingan-kepingan memori Matsuko sepanjang kariernya hingga dibunuh dengan tragis. Kehidupan yang gelap dihadirkan dengan gemerlap melalui film ini. Menyaksikan film ini mengingatkan kita akan film Amelie. Cerita yang kelam dihadirkan dengan penuh keceriaan. Tanpa sadar film ini mengajak kita untuk melihat segala sesuatu dengan keceriaan. Dalam situasi apapun Matsuko menyelipkan “wajah jelek”nya untuk menghibur kita. Perjalanan hidup memang gelap dan berliku, namun sem