Nama adalah sebuah identitas
yang melekat dalam kehidupan seseorang. Di dalam sebuah nama bisa dijumpai harapan,
penanda, sejarah, bahkan doa. Ketika nama itu ditiadakan dan diganti dengan
nama yang lain, bisa menjadi sebuah penghinaan yang luar biasa. Dalam film ini,
Solomon, seorang tukang kayu dan musisi kulit hitam dari kalangan menengah
dijebak dan dijual sebagai budak. Ia dipisahkan begitu saja dari keluarga dan
komunitasnya, dipaksa masuk ke dalam kehidupan yang baru sebagai budak. Nama
Solomon diganti menjadi Platt. Sebuah nama yang singkat, hanya satu suku kata,
dan tanpa makna.
Dua belas tahun adalah
masa di mana Platt berpetualang sebagai budak. Beberapa kali ia dijual-belikan
untuk dipekerjakan layaknya ternak. Penindasan adalah pemandangan yang setiap
hari dijumpainya. Hukuman cambuk yang merobek kulit hingga daging menjadi
sahabat bagi para budak. Beberapa kali Platt mencoba melarikan diri, tapi malah
dikhianati. Hingga suatu saat, ia berjumpa dengan seorang Sheriff lokal yang
melihat Platt tidak seharusnya berada di sana sebagai budak. Melalui Sheriff
tersebut, Platt akhirnya terbebas dari perbudakan dan kembali ke dalam
kehidupannya sebagai manusia yang bebas. Ia bukan lagi Platt, tapi kembali
menjadi seorang Solomon.
Film yang mencoba
mengangkat masa kelam Amerika Serikat pada tahun 1840-an, di mana perbudakan masih
menjadi budaya yang dibanggakan. Budak digambarkan begitu hina. Ditelanjangi,
dipisahkan dari keluarga, diperkosa, dicambuk, hingga digantung... semuanya
jelas tergambar di dalam film ini sebagai realita yang pernah nyata terjadi. Film
ini memang mencoba mengangkat teriak kesakitan dan air mata para budak sebagai
sebuah karya seni yang mengetuk nurani kita dengan refleksi keprihatinan. Salah
satu wujud menjunjung tinggi nilai kemanusiaan adalah dengan menghargai nama
yang melekat sebagai identitas, harapan, sejarah, serta doa.
Salam Sinema!!
Komentar
Posting Komentar