Langsung ke konten utama

Lovely Man (2011), Satu Malam yang Menggemaskan




Film ini membenturkan dua dunia yang dipandang masyarakat “suci” dan “najis” menjadi sebuah leburan yang dramatis. Cahaya, seorang remaja lulusan pesantren, mencoba mencari ayahnya yang bekerja di Jakarta. Cahaya terkejut ketika menjumpai ayahnya yang telah belasan tahun meninggalkan keluarga, ternyata memiliki profesi sebagai waria jalanan di Jakarta. Perjumpaan mereka berdua adalah benturan yang kontras dalam kehidupan sosial. Cahaya, gadis pesantren dengan pakaian kerudung lengkap serta ketaatan membangun sholat tentu saja dipandang sebagai sosok yang bersih dan suci. Sebaliknya, sang ayah, seorang berprofesi sebagai waria yang setiap malam menunggu pelanggan di jalanan selalu dipandang sebagai sampah yang najis dan penuh dosa.

Film ini mencoba membuka mata kita akan penilaian etis terhadap sosok Cahaya dan sang ayah. Apakah yang kelihatannya suci itu juga benar-benar bersih segala sesuatunya? Dan apakah yang dipandang najis itu benar-benar penuh dosa? Melalui dialog yang dihadirkan di film ini antara Cahaya dan ayahnya, muncul sebuah kajian etis yang sangat mendalam. Cahaya, gadis pesantren dengan pakaian kerudungnya ternyata menyimpan permasalahan hidup yang berat. Ia telah melakukan suatu kesalahan yang tidak mudah untuk diselesaikan. Sebaliknya, sang ayah, meskipun bekerja sebagai waria namun ia begitu peduli terhadap keluarga yang ditinggalkan. Setiap bulan ia mengirimkan sejumlah uang untuk biaya hidup anak istrinya di kampung. Di balik pekerjaannya sebagai waria, ia adalah seorang ayah yang bertanggung jawab. Hitam tak selalu hitam, putih tak selalu putih. Dalam kajian etis kita harus memahami adanya benar – salah, baik – buruk, serta konteks kehidupan yang mempengaruhi setiap pilihan.

Sebuah film yang hampir sempurna dengan tema yang brilian! Teddy Soeriaatmadja sebagai sutradara menghadirkan kesederhanaan alur dan tutur. Film ini diawali dengan enam setengah menit tanpa dialog dan narasi sama sekali. Teddy mengenalkan tokoh dan konflik di awal film cukup dengan visual yang menawan. Dan tentu saja yang menjadi nyawa film ini adalah Donny Damara, pemeran sang ayah. Gaya Donny menggoda om-om sebagai waria benar-benar genit dan luwes. Namun ketika ia beralih menjadi sosok ayah, Donny tampil sangat bersahaja.

Sungguh miris, film-film seperti ini “dibuang” oleh masyarakat kita namun disanjung dan dihargai di tingkat yang lebih tinggi. Beberapa hari setelah pemutaran perdana di Jakarta, film ini didemo oleh suatu ormas hingga akhirnya tidak lagi ditayangkan di bioskop Indonesia. Agama memang seringkali telah mengerdilkan nalar dan budi kita.

Salam Sinema!!!



Komentar

Postingan populer dari blog ini

The Father (2020), Subjek yang Terlupa

  Anthony menghadapi permasalahan penuaan yang cukup ironis. Ia dibingungkan dengan memorinya sendiri. Ia tidak dapat lagi membedakan siapa, di mana, kapan, dan bagaimana kehidupannya berlalu. Semuanya kacau. Tiba-tiba saja anaknya yang pamit ke Paris muncul dengan sosok yang berbeda. Tiba-tiba saja ia menjumpai sosok menantu yang entah dari mana asalnya. Tiba-tiba saja ia berada di apartemen yang berbeda. Tiba-tiba saja ia tinggal di sebuah panti bersama para perawat. Dalam kebingungan, muncul rasa jengkel, marah, sedih, bahagia, dan pasrah. Film yang sederhana dalam tema namun tidak sederhana dalam merangkai cerita. Bahkan hingga akhir film, penonton pun tidak dapat menemukan mana kehidupan Anthony yang sesungguhnya. Semuanya tumpang tindih campur aduk menjadi satu. Menertawakan Anthony berarti juga menertawakan diri kita sendiri. Menemukan kembali subjek itu memang tidak mudah. Kalau Lacan menerangkan perjumpaan bayi dengan cermin untuk menemukan realitas dirinya, film ini menggamba

Nomadland (2020), Kisah Para Pencari Surga

  Bukankah manusia tercipta pertama kali di alam kebebasan dan tidak berumah? Demikianlah bagaimana film ini mencoba untuk menggambarkan para “pengembara” di Amerika Serikat yang kembali menghayati kehidupan nan bebas bersama mobil van mereka. Bangunan rumah hanyalah kurungan yang mendomestikkan manusia sehingga seringkali kehilangan naluri “kemanusiaannya”. Para pengembara ( nomadland ) di Amerika Serikat membangun sebuah komunitas kekeluargaan yang sangat intim dan dinamis. Sebuah kehidupan yang tidak lazim. Namun inilah gerakan subkultur yang menjadi kritik kemapanan manusia rumahan. Mereka tidak lagi melihat suatu benda dari batasan nilai mata uang, namun dari nilai kenangan yang tak terbatas. Dari sinilah mereka menukarkan barang yang mereka miliki dengan barang sesama pengembara. Mereka bertukar narasi yang tak terbatas oleh nilai mata uang. Oleh karenanya mereka memilih disebut sebagai “ houseless ”. Bukan “ homeless ”. Mereka memang tidak memiliki bangunan untuk ditinggali. Nam

Memories Of Matsuko (2006), Warna-warni Kegelapan

  Siapa yang menyangka, Matsuko, gadis cantik bersuara merdu menjalani kehidupan yang kelam? Berawal dari profesinya sebagai seorang guru SMP yang menghadapi kenakalan anak didiknya, Matsulo harus meninggalkan sekolahan. Ia pun menjadi penyanyi cafe, wanita penghibur, penata rambut, hingga sindikat narkoba. Ia berpindah dari kekasih satu kepada kekasih yang lain. Ia menikmati walau tersakiti. Adalah Sho, keponakan Matsuko yang merangkai cerita memori kehidupan bibinya setelah meninggal di usia 55 tahun. Ia mengumpulkan kepingan-kepingan memori Matsuko sepanjang kariernya hingga dibunuh dengan tragis. Kehidupan yang gelap dihadirkan dengan gemerlap melalui film ini. Menyaksikan film ini mengingatkan kita akan film Amelie. Cerita yang kelam dihadirkan dengan penuh keceriaan. Tanpa sadar film ini mengajak kita untuk melihat segala sesuatu dengan keceriaan. Dalam situasi apapun Matsuko menyelipkan “wajah jelek”nya untuk menghibur kita. Perjalanan hidup memang gelap dan berliku, namun sem