Film ini membenturkan dua dunia yang dipandang masyarakat “suci”
dan “najis” menjadi sebuah leburan yang dramatis. Cahaya, seorang remaja lulusan
pesantren, mencoba mencari ayahnya yang bekerja di Jakarta. Cahaya terkejut
ketika menjumpai ayahnya yang telah belasan tahun meninggalkan keluarga,
ternyata memiliki profesi sebagai waria jalanan di Jakarta. Perjumpaan mereka
berdua adalah benturan yang kontras dalam kehidupan sosial. Cahaya, gadis pesantren
dengan pakaian kerudung lengkap serta ketaatan membangun sholat tentu saja
dipandang sebagai sosok yang bersih dan suci. Sebaliknya, sang ayah, seorang berprofesi sebagai waria yang setiap malam menunggu pelanggan di jalanan selalu dipandang
sebagai sampah yang najis dan penuh dosa.
Film ini mencoba membuka mata kita akan penilaian etis
terhadap sosok Cahaya dan sang ayah. Apakah yang kelihatannya suci itu juga
benar-benar bersih segala sesuatunya? Dan apakah yang dipandang najis itu
benar-benar penuh dosa? Melalui dialog yang dihadirkan di film ini antara
Cahaya dan ayahnya, muncul sebuah kajian etis yang sangat mendalam. Cahaya, gadis
pesantren dengan pakaian kerudungnya ternyata menyimpan permasalahan hidup yang
berat. Ia telah melakukan suatu kesalahan yang tidak mudah untuk diselesaikan. Sebaliknya,
sang ayah, meskipun bekerja sebagai waria namun ia begitu peduli terhadap
keluarga yang ditinggalkan. Setiap bulan ia mengirimkan sejumlah uang untuk
biaya hidup anak istrinya di kampung. Di balik pekerjaannya sebagai waria, ia
adalah seorang ayah yang bertanggung jawab. Hitam tak selalu hitam, putih tak
selalu putih. Dalam kajian etis kita harus memahami adanya benar – salah, baik – buruk,
serta konteks kehidupan yang mempengaruhi setiap pilihan.
Sebuah film yang hampir sempurna dengan tema yang brilian! Teddy
Soeriaatmadja sebagai sutradara menghadirkan kesederhanaan alur dan tutur. Film ini diawali dengan enam
setengah menit tanpa dialog dan narasi sama sekali. Teddy
mengenalkan tokoh dan konflik di awal film cukup dengan visual yang menawan. Dan
tentu saja yang menjadi nyawa film ini adalah Donny Damara, pemeran sang ayah. Gaya
Donny menggoda om-om sebagai waria benar-benar genit dan luwes. Namun ketika ia beralih
menjadi sosok ayah, Donny tampil sangat bersahaja.
Sungguh miris, film-film seperti ini “dibuang” oleh
masyarakat kita namun disanjung dan dihargai di tingkat yang lebih tinggi.
Beberapa hari setelah pemutaran perdana di Jakarta, film ini didemo oleh suatu
ormas hingga akhirnya tidak lagi ditayangkan di bioskop Indonesia. Agama memang seringkali telah mengerdilkan
nalar dan budi kita.
Komentar
Posting Komentar