Srintil tampil sebagai Ronggeng baru di dukuh Paruk. Ia
adalah primadona kampung. Sebagai primadona, Srintil bukan hanya dituntut
memuaskan penonton melalui tarian Ronggeng, namun juga memuaskan mereka yang
berani membayar sebagai teman tidur. Masyarakat memandang ini bukanlah sebuah
pelecehan, tapi sebuah kehormatan. Bahkan para istri merasa sangat bangga
ketika suaminya bisa tidur dengan Srintil. Demikianlah tradisi lokal yang
berkembang di tengah dusun Paruk. Mereka pun percaya kekuatan leluhur akan selalu
menjaga ketika sesaji diberikan di makam melalui suatu ritual sebelum Ronggeng
dipentaskan.
Film ini sebenarnya menyajikan perlawanan Srintil akan
tradisi yang melecehkan perempuan. Namun apa daya, Srintil hanya bisa melawan
dalam diam. Srintil telah menjatuhkan pilihannya sebagai Ronggeng dan
meninggalkan Rasun, kekasihnya.
Bersih-bersih ideologi komunis pada tahun 1965 menjadi
bagian yang penting dari film ini ketika Srintil dan beberapa seniman Ronggeng
di kampungnya ditangkap dan diasingkan. Selain kritik feminis, film inipun
menghadirkan kritik politis. Srintil dan rombongan Ronggeng sama sekali buta
politik. Mereka tidak tahu komunis itu apa. Yang mereka tahu hanya menari dan
menghibur. Begitu polosnya sampai-sampai mereka tidak tahu kalau sebenarnnya
telah terlibat dalam panggung-panggung kampanye partai komunis, meskipun hanya
sebagai penghibur. Bersih-bersih komunis digambarkan dengan begitu mencekam.
Inilah kritik yang keras akan otoritas penguasa waktu itu yang menggunakan
tentara sebagai alat kekuasaan. Dalam film ini membangun kisah cinta yang
dipisahkan ideologi politik. Srintil yang dianggap simpatisan komunis
mengaharpakan cinta dari Rasun, seorang tentara. Hal yang mustahil.
Secara gestur tubuh, Prisia Nasution yang memerankan Srintil
sangat elok dengan menampilkan erotisme yang estetis. Namun sayangnya roh
Srintil kurang begitu dirasa. Prisia belumlah seperti orang Banyumas dengan logat
ngapaknya yang khas. Beberapa logat Banyumasan yang dilontarkan Prisia malah
terdengar kaku dan mengganggu. Sebaliknya, Oka Antara benar-benar menghidupkan
Rasun sebagai orang Banyumas dengan logatnya yang begitu kental. Di antara taburan bintang artis sinema, tanpa
disadari banyak orang, film ini adalah sebuah masterpiece bagi (mantan) pasangan Aksan Syuman dan Titi
Rajobintang sebagai penata musik. Balutan cokekan, kendang, calung, rebab,
suling, dan beberapa alat musik tradisional lainnya mampu membawa suasana bumi
mBanyumas tahun 50-60an yang jujur dan mistis. Begitu sederhana namun bersahaja.
Terlepas dari kontroversi apakah film ini mengadaptasi atau
terinspirasi trilogi novel Ronggeng Dukuh Paruk, film ini cukup sukses
berbicara tentang kritik feminis, politis, dan ideologi tahun 60-an. Dan lagi,
film ini mampu melekatkan sosok Srintil Sang Penari Ronggeng ke dalam diri Prisia
Nasution, sebagai penari Ronggeng yang meratapi kepopulerannya sendiri..
Salam Sinema!!
Komentar
Posting Komentar