Langsung ke konten utama

Sang Penari (2011), Menari di Atas Ratapan




Srintil tampil sebagai Ronggeng baru di dukuh Paruk. Ia adalah primadona kampung. Sebagai primadona, Srintil bukan hanya dituntut memuaskan penonton melalui tarian Ronggeng, namun juga memuaskan mereka yang berani membayar sebagai teman tidur. Masyarakat memandang ini bukanlah sebuah pelecehan, tapi sebuah kehormatan. Bahkan para istri merasa sangat bangga ketika suaminya bisa tidur dengan Srintil. Demikianlah tradisi lokal yang berkembang di tengah dusun Paruk. Mereka pun percaya kekuatan leluhur akan selalu menjaga ketika sesaji diberikan di makam melalui suatu ritual sebelum Ronggeng dipentaskan.

Film ini sebenarnya menyajikan perlawanan Srintil akan tradisi yang melecehkan perempuan. Namun apa daya, Srintil hanya bisa melawan dalam diam. Srintil telah menjatuhkan pilihannya sebagai Ronggeng dan meninggalkan Rasun, kekasihnya.

Bersih-bersih ideologi komunis pada tahun 1965 menjadi bagian yang penting dari film ini ketika Srintil dan beberapa seniman Ronggeng di kampungnya ditangkap dan diasingkan. Selain kritik feminis, film inipun menghadirkan kritik politis. Srintil dan rombongan Ronggeng sama sekali buta politik. Mereka tidak tahu komunis itu apa. Yang mereka tahu hanya menari dan menghibur. Begitu polosnya sampai-sampai mereka tidak tahu kalau sebenarnnya telah terlibat dalam panggung-panggung kampanye partai komunis, meskipun hanya sebagai penghibur. Bersih-bersih komunis digambarkan dengan begitu mencekam. Inilah kritik yang keras akan otoritas penguasa waktu itu yang menggunakan tentara sebagai alat kekuasaan. Dalam film ini membangun kisah cinta yang dipisahkan ideologi politik. Srintil yang dianggap simpatisan komunis mengaharpakan cinta dari Rasun, seorang tentara. Hal yang mustahil.

Secara gestur tubuh, Prisia Nasution yang memerankan Srintil sangat elok dengan menampilkan erotisme yang estetis. Namun sayangnya roh Srintil kurang begitu dirasa. Prisia belumlah seperti orang Banyumas dengan logat ngapaknya yang khas. Beberapa logat Banyumasan yang dilontarkan Prisia malah terdengar kaku dan mengganggu. Sebaliknya, Oka Antara benar-benar menghidupkan Rasun sebagai orang Banyumas dengan logatnya yang begitu kental. Di antara taburan bintang artis sinema, tanpa disadari banyak orang, film ini adalah sebuah masterpiece bagi (mantan) pasangan Aksan Syuman dan Titi Rajobintang sebagai penata musik. Balutan cokekan, kendang, calung, rebab, suling, dan beberapa alat musik tradisional lainnya mampu membawa suasana bumi mBanyumas tahun 50-60an yang jujur dan mistis. Begitu sederhana namun bersahaja.

Terlepas dari kontroversi apakah film ini mengadaptasi atau terinspirasi trilogi novel Ronggeng Dukuh Paruk, film ini cukup sukses berbicara tentang kritik feminis, politis, dan ideologi tahun 60-an. Dan lagi, film ini mampu melekatkan sosok Srintil Sang Penari Ronggeng ke dalam diri Prisia Nasution, sebagai penari Ronggeng yang meratapi kepopulerannya sendiri..

Salam Sinema!!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

The Father (2020), Subjek yang Terlupa

  Anthony menghadapi permasalahan penuaan yang cukup ironis. Ia dibingungkan dengan memorinya sendiri. Ia tidak dapat lagi membedakan siapa, di mana, kapan, dan bagaimana kehidupannya berlalu. Semuanya kacau. Tiba-tiba saja anaknya yang pamit ke Paris muncul dengan sosok yang berbeda. Tiba-tiba saja ia menjumpai sosok menantu yang entah dari mana asalnya. Tiba-tiba saja ia berada di apartemen yang berbeda. Tiba-tiba saja ia tinggal di sebuah panti bersama para perawat. Dalam kebingungan, muncul rasa jengkel, marah, sedih, bahagia, dan pasrah. Film yang sederhana dalam tema namun tidak sederhana dalam merangkai cerita. Bahkan hingga akhir film, penonton pun tidak dapat menemukan mana kehidupan Anthony yang sesungguhnya. Semuanya tumpang tindih campur aduk menjadi satu. Menertawakan Anthony berarti juga menertawakan diri kita sendiri. Menemukan kembali subjek itu memang tidak mudah. Kalau Lacan menerangkan perjumpaan bayi dengan cermin untuk menemukan realitas dirinya, film ini menggamba

Nomadland (2020), Kisah Para Pencari Surga

  Bukankah manusia tercipta pertama kali di alam kebebasan dan tidak berumah? Demikianlah bagaimana film ini mencoba untuk menggambarkan para “pengembara” di Amerika Serikat yang kembali menghayati kehidupan nan bebas bersama mobil van mereka. Bangunan rumah hanyalah kurungan yang mendomestikkan manusia sehingga seringkali kehilangan naluri “kemanusiaannya”. Para pengembara ( nomadland ) di Amerika Serikat membangun sebuah komunitas kekeluargaan yang sangat intim dan dinamis. Sebuah kehidupan yang tidak lazim. Namun inilah gerakan subkultur yang menjadi kritik kemapanan manusia rumahan. Mereka tidak lagi melihat suatu benda dari batasan nilai mata uang, namun dari nilai kenangan yang tak terbatas. Dari sinilah mereka menukarkan barang yang mereka miliki dengan barang sesama pengembara. Mereka bertukar narasi yang tak terbatas oleh nilai mata uang. Oleh karenanya mereka memilih disebut sebagai “ houseless ”. Bukan “ homeless ”. Mereka memang tidak memiliki bangunan untuk ditinggali. Nam

Memories Of Matsuko (2006), Warna-warni Kegelapan

  Siapa yang menyangka, Matsuko, gadis cantik bersuara merdu menjalani kehidupan yang kelam? Berawal dari profesinya sebagai seorang guru SMP yang menghadapi kenakalan anak didiknya, Matsulo harus meninggalkan sekolahan. Ia pun menjadi penyanyi cafe, wanita penghibur, penata rambut, hingga sindikat narkoba. Ia berpindah dari kekasih satu kepada kekasih yang lain. Ia menikmati walau tersakiti. Adalah Sho, keponakan Matsuko yang merangkai cerita memori kehidupan bibinya setelah meninggal di usia 55 tahun. Ia mengumpulkan kepingan-kepingan memori Matsuko sepanjang kariernya hingga dibunuh dengan tragis. Kehidupan yang gelap dihadirkan dengan gemerlap melalui film ini. Menyaksikan film ini mengingatkan kita akan film Amelie. Cerita yang kelam dihadirkan dengan penuh keceriaan. Tanpa sadar film ini mengajak kita untuk melihat segala sesuatu dengan keceriaan. Dalam situasi apapun Matsuko menyelipkan “wajah jelek”nya untuk menghibur kita. Perjalanan hidup memang gelap dan berliku, namun sem