Langsung ke konten utama

Shaolin Temple (1982), Spiritualitas dalam Kekerasan





Biara Shaolin adalah tempat mengasah spiritualitas agama. Para biksu belajar untuk menahan beragam hawa nafsu dunia dan masuk ke dalam laku spiritual. Bela diri dipelajari benar-benar untuk membela diri. Bukan menyerang dengan amarah dan nafsu. Namun bagaimanapun juga kehidupan ini tak dapat terlepas dari kekerasan. Sekalipun itu agama, fenomena kekerasan pun bisa menjadi bagian di dalamnya. Inilah yang diungkapkan dalam film ini.

Film Shaolin Temple mengangkat kisah tentang seorang bernama Xiao Hu (diperankan oleh Jet Li) yang berhasil melarikan diri dari pertarungan dengan Jendral Wang beserta pasukannya, tiba di Biara Shaolin. Di Biara Shaolin tersebut Xiao Hu dirawat serta belajar spiritualitas agama dan bela diri. Kisah selanjutnya adalah bagaimana Xiao Hu harus menerapkan ilmunya dengan menghadapi Jendral Wang, pemimpin pemberontak kerajaan. Di akhir cerita Xiao Hu bersedia untuk disumpah menjadi seorang Biksu Biara Shaolin dengan menghindari beragam nafsu duniawi. Termasuk meredam hasrat untuk menikahi nona Pak, gadis yang dicintainya.

Film ini begitu jujur mengungkapkan kehidupan para biksu di biara yang ternyata tidak serius-serius amat. Bahkan dipaparkan kenakalan-kenakalan para biksu dalam keseharian mereka, seperti diam-diam memakan daging anjing serta minum tuak hingga mabuk. Seringkali diungkapkan celetukan, “ketika Buddha ada di hatimu, daging dan tuak, tidak apa-apalah...” Artinya bagaimana aturan itu tidak harus dipahami dengan begitu kaku. Termasuk hadirnya agama dan kekerasan. Dua hal yang sangat berlawanan. Agama mengajarkan cinta kasih yang membangun relasi, sedangkan kekerasan itu merusak relasi. Namun pada konteks tertentu, agama bisa juga memunculkan kekerasan. Biara Shaolin menurut catatan sejarah, sekitar tahun 800 SM terlibat dalam peperangan besar sehingga memunculkan dinasti Tang di China. Dalam peperangan tersebut para biksu pun turut serta angkat senjata. Tanpa adanya kekerasan, agama tidak akan pernah muncul. Dan tanpa adanya agama, kekerasanpun juga tidak akan pernah dikenal.

Salam Sinema!!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

The Father (2020), Subjek yang Terlupa

  Anthony menghadapi permasalahan penuaan yang cukup ironis. Ia dibingungkan dengan memorinya sendiri. Ia tidak dapat lagi membedakan siapa, di mana, kapan, dan bagaimana kehidupannya berlalu. Semuanya kacau. Tiba-tiba saja anaknya yang pamit ke Paris muncul dengan sosok yang berbeda. Tiba-tiba saja ia menjumpai sosok menantu yang entah dari mana asalnya. Tiba-tiba saja ia berada di apartemen yang berbeda. Tiba-tiba saja ia tinggal di sebuah panti bersama para perawat. Dalam kebingungan, muncul rasa jengkel, marah, sedih, bahagia, dan pasrah. Film yang sederhana dalam tema namun tidak sederhana dalam merangkai cerita. Bahkan hingga akhir film, penonton pun tidak dapat menemukan mana kehidupan Anthony yang sesungguhnya. Semuanya tumpang tindih campur aduk menjadi satu. Menertawakan Anthony berarti juga menertawakan diri kita sendiri. Menemukan kembali subjek itu memang tidak mudah. Kalau Lacan menerangkan perjumpaan bayi dengan cermin untuk menemukan realitas dirinya, film ini menggamba

Nomadland (2020), Kisah Para Pencari Surga

  Bukankah manusia tercipta pertama kali di alam kebebasan dan tidak berumah? Demikianlah bagaimana film ini mencoba untuk menggambarkan para “pengembara” di Amerika Serikat yang kembali menghayati kehidupan nan bebas bersama mobil van mereka. Bangunan rumah hanyalah kurungan yang mendomestikkan manusia sehingga seringkali kehilangan naluri “kemanusiaannya”. Para pengembara ( nomadland ) di Amerika Serikat membangun sebuah komunitas kekeluargaan yang sangat intim dan dinamis. Sebuah kehidupan yang tidak lazim. Namun inilah gerakan subkultur yang menjadi kritik kemapanan manusia rumahan. Mereka tidak lagi melihat suatu benda dari batasan nilai mata uang, namun dari nilai kenangan yang tak terbatas. Dari sinilah mereka menukarkan barang yang mereka miliki dengan barang sesama pengembara. Mereka bertukar narasi yang tak terbatas oleh nilai mata uang. Oleh karenanya mereka memilih disebut sebagai “ houseless ”. Bukan “ homeless ”. Mereka memang tidak memiliki bangunan untuk ditinggali. Nam

Memories Of Matsuko (2006), Warna-warni Kegelapan

  Siapa yang menyangka, Matsuko, gadis cantik bersuara merdu menjalani kehidupan yang kelam? Berawal dari profesinya sebagai seorang guru SMP yang menghadapi kenakalan anak didiknya, Matsulo harus meninggalkan sekolahan. Ia pun menjadi penyanyi cafe, wanita penghibur, penata rambut, hingga sindikat narkoba. Ia berpindah dari kekasih satu kepada kekasih yang lain. Ia menikmati walau tersakiti. Adalah Sho, keponakan Matsuko yang merangkai cerita memori kehidupan bibinya setelah meninggal di usia 55 tahun. Ia mengumpulkan kepingan-kepingan memori Matsuko sepanjang kariernya hingga dibunuh dengan tragis. Kehidupan yang gelap dihadirkan dengan gemerlap melalui film ini. Menyaksikan film ini mengingatkan kita akan film Amelie. Cerita yang kelam dihadirkan dengan penuh keceriaan. Tanpa sadar film ini mengajak kita untuk melihat segala sesuatu dengan keceriaan. Dalam situasi apapun Matsuko menyelipkan “wajah jelek”nya untuk menghibur kita. Perjalanan hidup memang gelap dan berliku, namun sem