Langsung ke konten utama

8 1/2 (1963), Kenapa Harus Bahagia?




Produser telah siap untuk mendanai film. Para artis telah antri untuk mendapatkan peran. Tim kreatif telah siap dengan setting propertinya. Wartawan telah siap untuk meliput. Namun sang sutradara masih belum menemukan ide cerita film. Bahkan menjelang syuting perdana pun masih belum jelas film jenis apa yang akan dikerjakan. Ya, ini adalah sebuah film brilian tentang pembuatan film yang amburadul. Semua bermuara kepada Guido sang sutradara yang merasa galau. Ia pun menggali makna kebahagiaan melalui imajinasinya. Bahkan ada bagian yang sangat menarik dari film ini ketika ia menghadap Paus untuk menanyakan kenapa dirinya tidak merasa bahagia. Apa kata Paus? “Kenapa kau harus bahagia? Bahagia bukanlah tugas kita dalam kehidupan.” Sebuah jawaban yang sangat bijak dan sekaligus menohok. Biasanya pemimpin agama akan mengarahkan umat untuk merasakan bahagia dengan resep bla-blal-bla... Jawaban yang sering malah menbuat semakin tidak bahagia. Tapi Paus di film ini (tentu bukan ungkapan Paus yang sebenarnya) malah mengatakan hidup itu tidak perlu bahagia. Jawaban inilah yang menjadi roh di film ini. Tapi justru penyadaran akan ketidakbahagiaan inilah yang nantinya akan membawa kepada kebahagiaan.

8 ½ adalah jumlah film yang telah diproduksi oleh Fedrico Fellini, seorang maestro Italia dalam hal sinema. Ia telah membuat enam film panjang dan tiga film pendek. Untuk film pendek dihitung setengah. Jadi jumlahnya 8 ½ . Inilah sebuah film surealis yang memiliki ide sempurna tentang ketidaksempurnaan.

Salam Sinema!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

The Father (2020), Subjek yang Terlupa

  Anthony menghadapi permasalahan penuaan yang cukup ironis. Ia dibingungkan dengan memorinya sendiri. Ia tidak dapat lagi membedakan siapa, di mana, kapan, dan bagaimana kehidupannya berlalu. Semuanya kacau. Tiba-tiba saja anaknya yang pamit ke Paris muncul dengan sosok yang berbeda. Tiba-tiba saja ia menjumpai sosok menantu yang entah dari mana asalnya. Tiba-tiba saja ia berada di apartemen yang berbeda. Tiba-tiba saja ia tinggal di sebuah panti bersama para perawat. Dalam kebingungan, muncul rasa jengkel, marah, sedih, bahagia, dan pasrah. Film yang sederhana dalam tema namun tidak sederhana dalam merangkai cerita. Bahkan hingga akhir film, penonton pun tidak dapat menemukan mana kehidupan Anthony yang sesungguhnya. Semuanya tumpang tindih campur aduk menjadi satu. Menertawakan Anthony berarti juga menertawakan diri kita sendiri. Menemukan kembali subjek itu memang tidak mudah. Kalau Lacan menerangkan perjumpaan bayi dengan cermin untuk menemukan realitas dirinya, film ini menggamba

Nomadland (2020), Kisah Para Pencari Surga

  Bukankah manusia tercipta pertama kali di alam kebebasan dan tidak berumah? Demikianlah bagaimana film ini mencoba untuk menggambarkan para “pengembara” di Amerika Serikat yang kembali menghayati kehidupan nan bebas bersama mobil van mereka. Bangunan rumah hanyalah kurungan yang mendomestikkan manusia sehingga seringkali kehilangan naluri “kemanusiaannya”. Para pengembara ( nomadland ) di Amerika Serikat membangun sebuah komunitas kekeluargaan yang sangat intim dan dinamis. Sebuah kehidupan yang tidak lazim. Namun inilah gerakan subkultur yang menjadi kritik kemapanan manusia rumahan. Mereka tidak lagi melihat suatu benda dari batasan nilai mata uang, namun dari nilai kenangan yang tak terbatas. Dari sinilah mereka menukarkan barang yang mereka miliki dengan barang sesama pengembara. Mereka bertukar narasi yang tak terbatas oleh nilai mata uang. Oleh karenanya mereka memilih disebut sebagai “ houseless ”. Bukan “ homeless ”. Mereka memang tidak memiliki bangunan untuk ditinggali. Nam

Memories Of Matsuko (2006), Warna-warni Kegelapan

  Siapa yang menyangka, Matsuko, gadis cantik bersuara merdu menjalani kehidupan yang kelam? Berawal dari profesinya sebagai seorang guru SMP yang menghadapi kenakalan anak didiknya, Matsulo harus meninggalkan sekolahan. Ia pun menjadi penyanyi cafe, wanita penghibur, penata rambut, hingga sindikat narkoba. Ia berpindah dari kekasih satu kepada kekasih yang lain. Ia menikmati walau tersakiti. Adalah Sho, keponakan Matsuko yang merangkai cerita memori kehidupan bibinya setelah meninggal di usia 55 tahun. Ia mengumpulkan kepingan-kepingan memori Matsuko sepanjang kariernya hingga dibunuh dengan tragis. Kehidupan yang gelap dihadirkan dengan gemerlap melalui film ini. Menyaksikan film ini mengingatkan kita akan film Amelie. Cerita yang kelam dihadirkan dengan penuh keceriaan. Tanpa sadar film ini mengajak kita untuk melihat segala sesuatu dengan keceriaan. Dalam situasi apapun Matsuko menyelipkan “wajah jelek”nya untuk menghibur kita. Perjalanan hidup memang gelap dan berliku, namun sem