Film ini bertutur tentang keprihatinan Songlian sebagai selir keempat dari seorang yang kaya raya di negeri Tiongkok. Songlian mau tidak mau harus terlibat dalam persaingan antar selir dalam memperebutkan perhatian sang suami. Lentera merah yang berada di depan masing-masing rumah selir menandakan siapa yang memenangkan hati sang suami. Rumah yang lentera merahnya menyala, di sanalah sang suami akan tinggal dan bercinta dengan selir pemilik rumah. Namun kalau lentera padam, yang ada hanya kesunyian. Keempat selir pun berebut dengan intrik dan muslihat. Tekanan demi tekanan mendera Songlian dalam persaingan tersebut. Sebuah sandiwara yang tidak mudah untuk dibaca arahnya. Senyuman hangat bisa menjadi racun. Sebaliknya sifat acuh dan nyinyir ternyata malah menyimpan kepedulian. Film ini berakhir tragis. Songlian tak kuasa menahan beban sebagai selir, hingga akhirnya menjadi gila. Saat itulah datang seorang perempuan sebagai selir kelima.
Menyaksikan film ini mengingatkan kita akan kisah Gadis Pantai dalam novel Pramoedya. Ketika harta dan tahta berkuasa, wanitalah yang menanggung derita sebagai korban. Potret yang diangkat dalam film ini adalah kehidupan seorang yang kaya pada tahun 20-an, di mana poligami masih menjadi tradisi para bangsawan dan borjuis dengan mengangkat selir atau gundik. Memiliki selir atau gundik adalah sebuah kebanggan. Semakin banyak selir, semakin tinggi kehormatannya. Di sisi yang lain, keluarga yang menyerahkan anaknya sebagai selir biasanya memiliki permasalahan ekonomi yang berat. Para orangtua terpaksa “menjual” anaknya untuk memperbaiki kehidupan ekonomi keluarga ataupun untuk membayar hutang. Inilah penindasan secara halus yang dilakukan para bangsawan dan borjuis untuk memenuhi hasrat seksual mereka.
Pemutus rantai penindasan ini adalah pendidikan. Sohlian begitu resah dalam tekanan karena ia pernah belajar di perguruan tinggi dan harus keluar karena masalah biaya. Ia menyadari banyak hal yang keliru dalam kehidupannya sebagai selir. Pendidikan akan membuka mata siapapun tentang harkat dan martabat manusia yang harus dijunjung tinggi. Dalam konteks kolonial, masyarakat memang sengaja tidak diberi pendidikan agar menjadi bodoh. Penyadaran akan pentingnya pendidikan bukan hanya tertuju bagi kaum yang tertindas saja, tapi mereka yang menindaspun juga harus disadarkan akan nilai kemanusiaan. Film ini adalah kritik tajam tentang cinta yang bukan hanya masalah harta dan tahta semata. Tapi yang terpenting adalah rasa dan logika.
Komentar
Posting Komentar