Langsung ke konten utama

Raise the Red Lantern (1991), Madu dan Racun Para Selir


Film ini bertutur tentang keprihatinan Songlian sebagai selir keempat dari seorang yang kaya raya di negeri Tiongkok. Songlian mau tidak mau harus terlibat dalam persaingan antar selir dalam memperebutkan perhatian sang suami. Lentera merah yang berada di depan masing-masing rumah selir menandakan siapa yang memenangkan hati sang suami. Rumah yang lentera merahnya menyala, di sanalah sang suami akan tinggal dan bercinta dengan selir pemilik rumah. Namun kalau lentera padam, yang ada hanya kesunyian. Keempat selir pun berebut dengan intrik dan muslihat. Tekanan demi tekanan mendera Songlian dalam persaingan tersebut. Sebuah sandiwara yang tidak mudah untuk dibaca arahnya. Senyuman hangat bisa menjadi racun. Sebaliknya sifat acuh dan nyinyir ternyata malah menyimpan kepedulian. Film ini berakhir tragis. Songlian tak kuasa menahan beban sebagai selir, hingga akhirnya menjadi gila. Saat itulah datang seorang perempuan sebagai selir kelima.

 

Menyaksikan film ini mengingatkan kita akan kisah Gadis Pantai dalam novel Pramoedya. Ketika harta dan tahta berkuasa, wanitalah yang menanggung derita sebagai korban. Potret yang diangkat dalam film ini adalah kehidupan seorang yang kaya pada tahun 20-an, di mana poligami masih menjadi tradisi para bangsawan dan borjuis dengan mengangkat selir atau gundik. Memiliki selir atau gundik adalah sebuah kebanggan. Semakin banyak selir, semakin tinggi kehormatannya. Di sisi yang lain, keluarga yang menyerahkan anaknya sebagai selir biasanya memiliki permasalahan ekonomi yang berat. Para orangtua terpaksa “menjual” anaknya untuk memperbaiki kehidupan ekonomi keluarga ataupun untuk membayar hutang. Inilah penindasan secara halus yang dilakukan para bangsawan dan borjuis untuk memenuhi hasrat seksual mereka.

 

Pemutus rantai penindasan ini adalah pendidikan. Sohlian begitu resah dalam tekanan karena ia pernah belajar di perguruan tinggi dan harus keluar karena masalah biaya. Ia menyadari banyak hal yang keliru dalam kehidupannya sebagai selir. Pendidikan akan membuka mata siapapun tentang harkat dan martabat manusia yang harus dijunjung tinggi. Dalam konteks kolonial, masyarakat memang sengaja tidak diberi pendidikan agar menjadi bodoh. Penyadaran akan pentingnya pendidikan bukan hanya tertuju bagi kaum yang tertindas saja, tapi mereka yang menindaspun juga harus disadarkan akan nilai kemanusiaan. Film ini adalah kritik tajam tentang cinta yang bukan hanya masalah harta dan tahta semata. Tapi yang terpenting adalah rasa dan logika.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

The Father (2020), Subjek yang Terlupa

  Anthony menghadapi permasalahan penuaan yang cukup ironis. Ia dibingungkan dengan memorinya sendiri. Ia tidak dapat lagi membedakan siapa, di mana, kapan, dan bagaimana kehidupannya berlalu. Semuanya kacau. Tiba-tiba saja anaknya yang pamit ke Paris muncul dengan sosok yang berbeda. Tiba-tiba saja ia menjumpai sosok menantu yang entah dari mana asalnya. Tiba-tiba saja ia berada di apartemen yang berbeda. Tiba-tiba saja ia tinggal di sebuah panti bersama para perawat. Dalam kebingungan, muncul rasa jengkel, marah, sedih, bahagia, dan pasrah. Film yang sederhana dalam tema namun tidak sederhana dalam merangkai cerita. Bahkan hingga akhir film, penonton pun tidak dapat menemukan mana kehidupan Anthony yang sesungguhnya. Semuanya tumpang tindih campur aduk menjadi satu. Menertawakan Anthony berarti juga menertawakan diri kita sendiri. Menemukan kembali subjek itu memang tidak mudah. Kalau Lacan menerangkan perjumpaan bayi dengan cermin untuk menemukan realitas dirinya, film ini menggamba

Nomadland (2020), Kisah Para Pencari Surga

  Bukankah manusia tercipta pertama kali di alam kebebasan dan tidak berumah? Demikianlah bagaimana film ini mencoba untuk menggambarkan para “pengembara” di Amerika Serikat yang kembali menghayati kehidupan nan bebas bersama mobil van mereka. Bangunan rumah hanyalah kurungan yang mendomestikkan manusia sehingga seringkali kehilangan naluri “kemanusiaannya”. Para pengembara ( nomadland ) di Amerika Serikat membangun sebuah komunitas kekeluargaan yang sangat intim dan dinamis. Sebuah kehidupan yang tidak lazim. Namun inilah gerakan subkultur yang menjadi kritik kemapanan manusia rumahan. Mereka tidak lagi melihat suatu benda dari batasan nilai mata uang, namun dari nilai kenangan yang tak terbatas. Dari sinilah mereka menukarkan barang yang mereka miliki dengan barang sesama pengembara. Mereka bertukar narasi yang tak terbatas oleh nilai mata uang. Oleh karenanya mereka memilih disebut sebagai “ houseless ”. Bukan “ homeless ”. Mereka memang tidak memiliki bangunan untuk ditinggali. Nam

Memories Of Matsuko (2006), Warna-warni Kegelapan

  Siapa yang menyangka, Matsuko, gadis cantik bersuara merdu menjalani kehidupan yang kelam? Berawal dari profesinya sebagai seorang guru SMP yang menghadapi kenakalan anak didiknya, Matsulo harus meninggalkan sekolahan. Ia pun menjadi penyanyi cafe, wanita penghibur, penata rambut, hingga sindikat narkoba. Ia berpindah dari kekasih satu kepada kekasih yang lain. Ia menikmati walau tersakiti. Adalah Sho, keponakan Matsuko yang merangkai cerita memori kehidupan bibinya setelah meninggal di usia 55 tahun. Ia mengumpulkan kepingan-kepingan memori Matsuko sepanjang kariernya hingga dibunuh dengan tragis. Kehidupan yang gelap dihadirkan dengan gemerlap melalui film ini. Menyaksikan film ini mengingatkan kita akan film Amelie. Cerita yang kelam dihadirkan dengan penuh keceriaan. Tanpa sadar film ini mengajak kita untuk melihat segala sesuatu dengan keceriaan. Dalam situasi apapun Matsuko menyelipkan “wajah jelek”nya untuk menghibur kita. Perjalanan hidup memang gelap dan berliku, namun sem