Langsung ke konten utama

Petualangan Sherina (2000), Mengenalkan Perlawanan Gender dan Kapitalisme kepada Anak





Petualangan Sherina adalah film yang ringan ditonton tapi memiliki muatan kritik budaya yang dalam. Sherina, seorang gadis Sekolah Dasar tampil dengan begitu superior di kelasnya. Dari awal film sudah terlihat bagaimana Sherina memanjat pohon mengalahkan teman laki-lakinya untuk memberi makan anak-anak burung. Di sekolahnya yang baru, Sherina berjumpa dengan Sadam, teman sekelas yang dikenal badboy. Ketika liburan pendek, Sherina dan Sadam terlibat dalam sebuah petualangan seru. Mereka berhadapan dengan sindikat penculik yang berkomplot dengan investor busuk yang ingin menguasai perkebunan teh milik ayah Sadam. Namanya juga Petualangan Sherina, Sherina pun tampil sebagai pahlawan dan mampu menyelamatkan Sadam serta perkebunan teh dari investor busuk.

Energi super Sherina mampu menjadikannya sebagai idola. Sosok gadis perempuan tidak melulu digambarkan dengan kelemahlembutan. Sherina adalah icon perlawanan gender anak-anak seusianya. Bahkan ada sebuah adegan gila, di mana Sherina mencium kening Sadam ketika mereka berada di menara teropong bintang. Ciuman itu bukan tanpa makna. Biasanya yang mengawali mencium pertama adalah laki-laki, tapi ini dilakukan oleh sosok gadis kecil! Di sinilah Sadam kehilangan ke-badboy-annya. Sherina benar-benar menunjukkan dominasi sebagai si empunya kuasa.

Tampilnya Butet sebagai penculik dan almarhum Djaduk sebaga Kartarajasa (investor busuk) memberi warna lain di film ini. Mereka mampu menghadirkan nuansa Yogya di tengah bumi Pasundan. Logat Jawa yang medhok dari Butet dan Djaduk mengalir di antara suasana perkebunan teh Lembang yang masyarakatnya sangat kental dengan dialek Sunda. Apalagi peran mereka adalah sebagai penjahat. Film ini memang sengaja tidak menampilkan penjahat yang seram, namun penjahat yang lucu. Salah satu kekuatan film ini memang peran penjahat yang benar-benar konyol dan jenaka sehingga menimbulkan tawa. Mirip dengan film Home Alone atau Baby’s Day Out  di mana menampilkan penjahat yang terus ketiban sial. Butet dan almarhum Djaduk adalah pembeda budaya yang memberi nyawa di dalam cerita.    

Masalah utama yang diangkat film ini sebenarnya kritik terhadap hadirnya investor busuk yang mencoba menguasai lahan perkebunan teh untuk dibangun proyek properti. Proyek itu menguntungkan siapa? Lalu bagaimana nasib buruh perkebunan kalau ada proyek? Lalu bagaimana keadaan lingkungan alam dengan adanya pabrik? Tanpa disadari sebenarnya film ini mengajarkan kepada anak untuk kritis terhadap kapitalisme. Namun, adegan polisi yang menangkap Kartarajasa si investor busuk dan kroni-kroninya hanyalah sebuah utopia. Mimpi di siang bolong...

Petualangan Sherina adalah batu pijakan menuju berkibarnya film Indonesia era tahun 2000-an. Mira Lesmana dan Riri Riza adalah duet sineas muda (pada waktu itu) yang mampu mendobrak pasaran. Mereka  mampu menghadirkan film keluarga yang mendidik di tengah film-film panas yang mewarnai bioskop. Dan sebuah apresiasi terakhir untuk almarhum Elfa Secoria yang menghadirkan lagu-lagu indah seperti Jagoan, Bintang-bintang, Menikmati Hari, dan lain-lain. Dua puluh tahun berlalu, namun lagu-lagu itu masih sangat dekat dan melekat dengan kuping kita.

Salam Sinema!!!


Komentar

Postingan populer dari blog ini

The Father (2020), Subjek yang Terlupa

  Anthony menghadapi permasalahan penuaan yang cukup ironis. Ia dibingungkan dengan memorinya sendiri. Ia tidak dapat lagi membedakan siapa, di mana, kapan, dan bagaimana kehidupannya berlalu. Semuanya kacau. Tiba-tiba saja anaknya yang pamit ke Paris muncul dengan sosok yang berbeda. Tiba-tiba saja ia menjumpai sosok menantu yang entah dari mana asalnya. Tiba-tiba saja ia berada di apartemen yang berbeda. Tiba-tiba saja ia tinggal di sebuah panti bersama para perawat. Dalam kebingungan, muncul rasa jengkel, marah, sedih, bahagia, dan pasrah. Film yang sederhana dalam tema namun tidak sederhana dalam merangkai cerita. Bahkan hingga akhir film, penonton pun tidak dapat menemukan mana kehidupan Anthony yang sesungguhnya. Semuanya tumpang tindih campur aduk menjadi satu. Menertawakan Anthony berarti juga menertawakan diri kita sendiri. Menemukan kembali subjek itu memang tidak mudah. Kalau Lacan menerangkan perjumpaan bayi dengan cermin untuk menemukan realitas dirinya, film ini menggamba

Nomadland (2020), Kisah Para Pencari Surga

  Bukankah manusia tercipta pertama kali di alam kebebasan dan tidak berumah? Demikianlah bagaimana film ini mencoba untuk menggambarkan para “pengembara” di Amerika Serikat yang kembali menghayati kehidupan nan bebas bersama mobil van mereka. Bangunan rumah hanyalah kurungan yang mendomestikkan manusia sehingga seringkali kehilangan naluri “kemanusiaannya”. Para pengembara ( nomadland ) di Amerika Serikat membangun sebuah komunitas kekeluargaan yang sangat intim dan dinamis. Sebuah kehidupan yang tidak lazim. Namun inilah gerakan subkultur yang menjadi kritik kemapanan manusia rumahan. Mereka tidak lagi melihat suatu benda dari batasan nilai mata uang, namun dari nilai kenangan yang tak terbatas. Dari sinilah mereka menukarkan barang yang mereka miliki dengan barang sesama pengembara. Mereka bertukar narasi yang tak terbatas oleh nilai mata uang. Oleh karenanya mereka memilih disebut sebagai “ houseless ”. Bukan “ homeless ”. Mereka memang tidak memiliki bangunan untuk ditinggali. Nam

Memories Of Matsuko (2006), Warna-warni Kegelapan

  Siapa yang menyangka, Matsuko, gadis cantik bersuara merdu menjalani kehidupan yang kelam? Berawal dari profesinya sebagai seorang guru SMP yang menghadapi kenakalan anak didiknya, Matsulo harus meninggalkan sekolahan. Ia pun menjadi penyanyi cafe, wanita penghibur, penata rambut, hingga sindikat narkoba. Ia berpindah dari kekasih satu kepada kekasih yang lain. Ia menikmati walau tersakiti. Adalah Sho, keponakan Matsuko yang merangkai cerita memori kehidupan bibinya setelah meninggal di usia 55 tahun. Ia mengumpulkan kepingan-kepingan memori Matsuko sepanjang kariernya hingga dibunuh dengan tragis. Kehidupan yang gelap dihadirkan dengan gemerlap melalui film ini. Menyaksikan film ini mengingatkan kita akan film Amelie. Cerita yang kelam dihadirkan dengan penuh keceriaan. Tanpa sadar film ini mengajak kita untuk melihat segala sesuatu dengan keceriaan. Dalam situasi apapun Matsuko menyelipkan “wajah jelek”nya untuk menghibur kita. Perjalanan hidup memang gelap dan berliku, namun sem