Petualangan Sherina adalah film yang ringan ditonton tapi
memiliki muatan kritik budaya yang dalam. Sherina, seorang gadis Sekolah Dasar
tampil dengan begitu superior di kelasnya. Dari awal film sudah terlihat bagaimana
Sherina memanjat pohon mengalahkan teman laki-lakinya untuk memberi makan
anak-anak burung. Di sekolahnya yang baru, Sherina berjumpa dengan Sadam, teman
sekelas yang dikenal badboy. Ketika liburan
pendek, Sherina dan Sadam terlibat dalam sebuah petualangan seru. Mereka
berhadapan dengan sindikat penculik yang berkomplot dengan investor busuk yang
ingin menguasai perkebunan teh milik ayah Sadam. Namanya juga Petualangan
Sherina, Sherina pun tampil sebagai pahlawan dan mampu menyelamatkan Sadam
serta perkebunan teh dari investor busuk.
Energi super Sherina mampu menjadikannya sebagai idola. Sosok
gadis perempuan tidak melulu digambarkan dengan kelemahlembutan. Sherina adalah
icon perlawanan gender anak-anak
seusianya. Bahkan ada sebuah adegan gila, di mana Sherina mencium kening Sadam
ketika mereka berada di menara teropong bintang. Ciuman itu bukan tanpa makna.
Biasanya yang mengawali mencium pertama adalah laki-laki, tapi ini dilakukan
oleh sosok gadis kecil! Di sinilah Sadam kehilangan ke-badboy-annya. Sherina benar-benar menunjukkan dominasi sebagai si
empunya kuasa.
Tampilnya Butet sebagai penculik dan almarhum Djaduk sebaga
Kartarajasa (investor busuk) memberi warna lain di film ini. Mereka mampu
menghadirkan nuansa Yogya di tengah bumi Pasundan. Logat Jawa yang medhok dari
Butet dan Djaduk mengalir di antara suasana perkebunan teh Lembang yang masyarakatnya
sangat kental dengan dialek Sunda. Apalagi peran mereka adalah sebagai
penjahat. Film ini memang sengaja tidak menampilkan penjahat yang seram, namun penjahat
yang lucu. Salah satu kekuatan film ini memang peran penjahat yang benar-benar konyol
dan jenaka sehingga menimbulkan tawa. Mirip dengan film Home Alone atau Baby’s Day
Out di mana menampilkan penjahat
yang terus ketiban sial. Butet dan almarhum Djaduk adalah pembeda budaya yang
memberi nyawa di dalam cerita.
Masalah utama yang diangkat film ini sebenarnya kritik
terhadap hadirnya investor busuk yang mencoba menguasai lahan perkebunan teh
untuk dibangun proyek properti. Proyek itu menguntungkan siapa? Lalu bagaimana
nasib buruh perkebunan kalau ada proyek? Lalu bagaimana keadaan lingkungan alam
dengan adanya pabrik? Tanpa disadari sebenarnya film ini mengajarkan kepada
anak untuk kritis terhadap kapitalisme. Namun, adegan polisi yang menangkap
Kartarajasa si investor busuk dan kroni-kroninya hanyalah sebuah utopia. Mimpi
di siang bolong...
Petualangan Sherina adalah batu pijakan menuju berkibarnya
film Indonesia era tahun 2000-an. Mira Lesmana dan Riri Riza adalah duet sineas
muda (pada waktu itu) yang mampu mendobrak pasaran. Mereka mampu menghadirkan film keluarga yang
mendidik di tengah film-film panas yang mewarnai bioskop. Dan sebuah apresiasi
terakhir untuk almarhum Elfa Secoria yang menghadirkan lagu-lagu indah seperti
Jagoan, Bintang-bintang, Menikmati Hari, dan lain-lain. Dua puluh tahun
berlalu, namun lagu-lagu itu masih sangat dekat dan melekat dengan kuping kita.
Salam Sinema!!!
Komentar
Posting Komentar