Langsung ke konten utama

Walk the Line (2005), Maestro Country di tengah Ilalang





Walk the Line merupakan biopik perjalanan Johnny Cash, seorang penyanyi country tahun 60-an yang kehidupannya cukup kontroversial. Johnny Cash lebih memilih bermusik daripada melanjutkan akademi militer angkatan udara di Jerman. Ia kembali ke Amerika dan menikahi kekasihnya, Vivian. Karirnya sebagai penyanyi country melejit setelah album dan tournya sukses. Permasalahan muncul ketika Johnny berjumpa dengan June Carter, bintang panggung musik country pada waktu itu. Tresna jalaran saka kulina... Ketika mereka kerap bertemu, dan bahkan menjalani tour bersama, terpautlah hati kedua penyanyi country tersebut meskipun sudah beranak istri dan suami. Kisah selanjutnya... Dari poster film, kita sudah bisa menebak arahnya.

Menyaksikan film ini, malah membawa kita merasa ikut bersalah. Sungguh! Meskipun film ini mengangkat kisah cinta John dan June (bukan Jin dan Jun), kita justru akan merasa simpati dan iba kepada Vivian. Di balik indahnya lagu karya Johnny Cash, dijumpai air mata, noda, dan dosa. Bukan hanya perselingkuhan, John pun terjatuh ke dalam obat-obatan terlarang yang mengubah kehiudupannya menjadi liar dan brutal. Pertengkaran hebat yang berujung perpisahkan terjadi ketika John akan memajang foto grup musiknya serta foto June di salah satu ruangan rumah baru mereka. Vivian pun meradang dan memilih pergi bersama kedua anak mereka. Betapa sakitnya perpisahan itu.

Seperti judulnya, Walk the Line, yang diambil dari lagu Johnny Cash I Walk the Line, film ini bertutur tentang menjalani jalan kehidupan – apapun itu jalannya. Sakitnya perpisahan dengan Vivian segera beralih kepada kegigihan John mendapatkan June sebagai istrinya. Dalam buku biografi  I Walked The Line: My Life With Johnny (2007), Vivian menyanggah cerita di film ini. Menurut Vivian, bukan John yang mengejar-ngejar June, namun June-lah yang tergila-gila dengan John dan mengejarnya. Nah lo...

Apapun itu, kontroversi perpisahan dengan Vivian serta kisah asmara dengan June Carter adalah garis yang telah dijalani oleh Johnny Cash. Di sisi lain, film ini begitu memanjakan indra dengar kita melalui lagu-lagu country Johnny Cash. Johnny memang tidak setenar Elvis ataupun the Beatles. Warna folk country berbau rock n roll yang kental di lagu-lagu Johnny Cash memang nikmat didengarkan tapi tidak gampang untuk diingat. Apalagi lirk-liriknya yang liar, begitu liat untuk dicerna. Seperti halnya sebuah kristik, di balik indahnya rajutan yang terpajang akan dijumpai keruwetan benang yang tersembunyi. Walk the Line-pun menampilkan kedua sisi Johnny Carter. Keindahan karya dan suara Johnny Carter seiring sengan perjalanan hidupnya yang penuh dengan ilalang.

Salam Sinema!!!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

The Father (2020), Subjek yang Terlupa

  Anthony menghadapi permasalahan penuaan yang cukup ironis. Ia dibingungkan dengan memorinya sendiri. Ia tidak dapat lagi membedakan siapa, di mana, kapan, dan bagaimana kehidupannya berlalu. Semuanya kacau. Tiba-tiba saja anaknya yang pamit ke Paris muncul dengan sosok yang berbeda. Tiba-tiba saja ia menjumpai sosok menantu yang entah dari mana asalnya. Tiba-tiba saja ia berada di apartemen yang berbeda. Tiba-tiba saja ia tinggal di sebuah panti bersama para perawat. Dalam kebingungan, muncul rasa jengkel, marah, sedih, bahagia, dan pasrah. Film yang sederhana dalam tema namun tidak sederhana dalam merangkai cerita. Bahkan hingga akhir film, penonton pun tidak dapat menemukan mana kehidupan Anthony yang sesungguhnya. Semuanya tumpang tindih campur aduk menjadi satu. Menertawakan Anthony berarti juga menertawakan diri kita sendiri. Menemukan kembali subjek itu memang tidak mudah. Kalau Lacan menerangkan perjumpaan bayi dengan cermin untuk menemukan realitas dirinya, film ini menggamba

Nomadland (2020), Kisah Para Pencari Surga

  Bukankah manusia tercipta pertama kali di alam kebebasan dan tidak berumah? Demikianlah bagaimana film ini mencoba untuk menggambarkan para “pengembara” di Amerika Serikat yang kembali menghayati kehidupan nan bebas bersama mobil van mereka. Bangunan rumah hanyalah kurungan yang mendomestikkan manusia sehingga seringkali kehilangan naluri “kemanusiaannya”. Para pengembara ( nomadland ) di Amerika Serikat membangun sebuah komunitas kekeluargaan yang sangat intim dan dinamis. Sebuah kehidupan yang tidak lazim. Namun inilah gerakan subkultur yang menjadi kritik kemapanan manusia rumahan. Mereka tidak lagi melihat suatu benda dari batasan nilai mata uang, namun dari nilai kenangan yang tak terbatas. Dari sinilah mereka menukarkan barang yang mereka miliki dengan barang sesama pengembara. Mereka bertukar narasi yang tak terbatas oleh nilai mata uang. Oleh karenanya mereka memilih disebut sebagai “ houseless ”. Bukan “ homeless ”. Mereka memang tidak memiliki bangunan untuk ditinggali. Nam

Memories Of Matsuko (2006), Warna-warni Kegelapan

  Siapa yang menyangka, Matsuko, gadis cantik bersuara merdu menjalani kehidupan yang kelam? Berawal dari profesinya sebagai seorang guru SMP yang menghadapi kenakalan anak didiknya, Matsulo harus meninggalkan sekolahan. Ia pun menjadi penyanyi cafe, wanita penghibur, penata rambut, hingga sindikat narkoba. Ia berpindah dari kekasih satu kepada kekasih yang lain. Ia menikmati walau tersakiti. Adalah Sho, keponakan Matsuko yang merangkai cerita memori kehidupan bibinya setelah meninggal di usia 55 tahun. Ia mengumpulkan kepingan-kepingan memori Matsuko sepanjang kariernya hingga dibunuh dengan tragis. Kehidupan yang gelap dihadirkan dengan gemerlap melalui film ini. Menyaksikan film ini mengingatkan kita akan film Amelie. Cerita yang kelam dihadirkan dengan penuh keceriaan. Tanpa sadar film ini mengajak kita untuk melihat segala sesuatu dengan keceriaan. Dalam situasi apapun Matsuko menyelipkan “wajah jelek”nya untuk menghibur kita. Perjalanan hidup memang gelap dan berliku, namun sem