Langsung ke konten utama

1900, Lima Jam yang Sangat Melelahkan!




Durasi film ini sama dengan tiga kali durasi film biasa. Kalau dihitung durasi film ini lebih dari lima jam! Ibarat makanan, film ini seperti mukbang atau makan besar, memakan tiga atau empat porsi makanan yang malah bikin mblenger atau eneg.

Ini film sejarah negara Italia dari tahun 1900 hingga 1940-an, di mana menghadirkan persahabatan dua orang yang terjalin sejak kanak-kanak hingga lanjut usia. Olmo adalah seorang anak buruh tani yang bersahabat dengan Alfredo, anak pemilik perkebunan. Ketika perang dunia pertama berakhir, Italia meskipun menang tapi mengalami krisis. Saat inilah Mussolini mulai naik menjadi perdana menteri dan menerapkan fasisme di Italia. Dampak dari fasisme adalah berjayanya para borjuis dan penindasan yang semena-mena terhadap kaum buruh. Alfredo pun berjaya di tengah keluarga borjuis. Ia mewarisi perkebunan orang tuanya. Sedangkan Olmo menjadi aktifis kaum buruh tani yang berideologi komunis. Ia memimpin kaum buruh tani menentang fasisme di Italia.

Menjelang Perang Dunia kedua (1940-an), terjadi revolusi di Italia yang mengubah tatanan kehidupan sosial. Fasisme runtuh dan berkibarlah komunisme. Alfredo yang tadinya berjaya sebagai borjuis, seketika juga tersandra tak berdaya. Olmo sang pejuang kaum buruh akhirnya meraih kejayaannya. Meskipun berbeda kelas sosial dan ideologi, Alfredo dan Olmo tetap saling memberi hormat sebagai sahabat hingga memasuki usia senja.

Salah satu kekuatan film Italia adalah permainan rasa yang menyajikan kepedihan yang mendalam. Sebut saja beberapa film Italia yang cukup legendaris seperti Bicycle Thieves, La Strada, atau Cinema Paradiso, mampu menorehkan kesan yang melekat di dalam ingatan. 1900-pun juga demikian. Momen yang membuat film ini berkesan adalah saat Olmo berbaring di atas rel kereta pada saat kereta melaju dengan cepat. Olmo diam di ruang sempit antara bantalan rel dengan bagian dasar kereta yang melaju. Hal inilah yang kemudian juga ditiru oleh Alfredo dan bahkan digunakan untuk mengakhiri film ini. Menyaksikan film ini memang sangat melelahkan. Tapi tema persahabatan lintas kelas sosial dan ideologi yang dibangun cukuplah memperkaya wacana kita.     

Salam Sinema!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

The Father (2020), Subjek yang Terlupa

  Anthony menghadapi permasalahan penuaan yang cukup ironis. Ia dibingungkan dengan memorinya sendiri. Ia tidak dapat lagi membedakan siapa, di mana, kapan, dan bagaimana kehidupannya berlalu. Semuanya kacau. Tiba-tiba saja anaknya yang pamit ke Paris muncul dengan sosok yang berbeda. Tiba-tiba saja ia menjumpai sosok menantu yang entah dari mana asalnya. Tiba-tiba saja ia berada di apartemen yang berbeda. Tiba-tiba saja ia tinggal di sebuah panti bersama para perawat. Dalam kebingungan, muncul rasa jengkel, marah, sedih, bahagia, dan pasrah. Film yang sederhana dalam tema namun tidak sederhana dalam merangkai cerita. Bahkan hingga akhir film, penonton pun tidak dapat menemukan mana kehidupan Anthony yang sesungguhnya. Semuanya tumpang tindih campur aduk menjadi satu. Menertawakan Anthony berarti juga menertawakan diri kita sendiri. Menemukan kembali subjek itu memang tidak mudah. Kalau Lacan menerangkan perjumpaan bayi dengan cermin untuk menemukan realitas dirinya, film ini menggamba

Nomadland (2020), Kisah Para Pencari Surga

  Bukankah manusia tercipta pertama kali di alam kebebasan dan tidak berumah? Demikianlah bagaimana film ini mencoba untuk menggambarkan para “pengembara” di Amerika Serikat yang kembali menghayati kehidupan nan bebas bersama mobil van mereka. Bangunan rumah hanyalah kurungan yang mendomestikkan manusia sehingga seringkali kehilangan naluri “kemanusiaannya”. Para pengembara ( nomadland ) di Amerika Serikat membangun sebuah komunitas kekeluargaan yang sangat intim dan dinamis. Sebuah kehidupan yang tidak lazim. Namun inilah gerakan subkultur yang menjadi kritik kemapanan manusia rumahan. Mereka tidak lagi melihat suatu benda dari batasan nilai mata uang, namun dari nilai kenangan yang tak terbatas. Dari sinilah mereka menukarkan barang yang mereka miliki dengan barang sesama pengembara. Mereka bertukar narasi yang tak terbatas oleh nilai mata uang. Oleh karenanya mereka memilih disebut sebagai “ houseless ”. Bukan “ homeless ”. Mereka memang tidak memiliki bangunan untuk ditinggali. Nam

Memories Of Matsuko (2006), Warna-warni Kegelapan

  Siapa yang menyangka, Matsuko, gadis cantik bersuara merdu menjalani kehidupan yang kelam? Berawal dari profesinya sebagai seorang guru SMP yang menghadapi kenakalan anak didiknya, Matsulo harus meninggalkan sekolahan. Ia pun menjadi penyanyi cafe, wanita penghibur, penata rambut, hingga sindikat narkoba. Ia berpindah dari kekasih satu kepada kekasih yang lain. Ia menikmati walau tersakiti. Adalah Sho, keponakan Matsuko yang merangkai cerita memori kehidupan bibinya setelah meninggal di usia 55 tahun. Ia mengumpulkan kepingan-kepingan memori Matsuko sepanjang kariernya hingga dibunuh dengan tragis. Kehidupan yang gelap dihadirkan dengan gemerlap melalui film ini. Menyaksikan film ini mengingatkan kita akan film Amelie. Cerita yang kelam dihadirkan dengan penuh keceriaan. Tanpa sadar film ini mengajak kita untuk melihat segala sesuatu dengan keceriaan. Dalam situasi apapun Matsuko menyelipkan “wajah jelek”nya untuk menghibur kita. Perjalanan hidup memang gelap dan berliku, namun sem