Langsung ke konten utama

Late Spring (1949), Menikah, Zona yang Tidak Nyaman




“Kebahagiaan bukanlah sesuatu yang kita harapkan terjadi, tapi sesuatu yang harus kita ciptakan.”
Demikianlah Shukichi menasihati putri tunggalnya, Noriko, yang sedang bimbang memutuskan untuk menikah atau tidak. Film ini mengisahkan pergumulan Noriko, gadis 27 tahun yang tinggal bersama Shukichi ayahnya yang sudah menduda. Pada awalnya Noriko merasa hidupnya sudah nyaman tinggal bersama ayahnya, tanpa harus menikah. Ia menganggap pernikahan adalah beban. Noriko dibayang-bayangi kegagalan dalam mebangun pernikahan yang dialami oleh seorang sahabatnya. Namun dorongan dari Shukichi mampu mengubah pola pikir Noriko. Ia akhirnya berani beranjak meninggalkan zona nyamannya dan bersiap memasuki zona tidak nyaman, yaitu pernikahan. 

Di akhir film, Noriko mengenakan baju penganten dan diantarkan ayahnya untuk menikah. Tapi yang menarik adalah dalam film ini sama sekali tidak diperlihatkan siapakah pasangan Noriko yang akan menikahinya. Jadi pesan yang ingin disampaikan dari film ini bukanlah Noriko menikah dengan siapa, tapi Noriko berani menikah atau tidak.

Drama dalam film ini berlatar belakang berakhirnya masa Perang Dunia kedua. Jepang bangkit kembali dari keterpurukan dan trauma bom Hiroshima-Nagasaki. Semangat yang penuh optimisme menjadi bagian kehidupan Jepang pada masa itu. Alur film Late Spring-pun menggambarkan sebuah optimisme dalam membangun masa depan. Rasa takut dan bayang-bayang kegagalan adalah musuh yang harus dilawan. Dan Noriko telah menunjukkan keberanian menempuh resiko untuk merajut masa depan. Hidup ini bukan mengharapkan bahagia, tapi menciptakan bahagia.

Salam Sinema!!!


Komentar

Postingan populer dari blog ini

The Father (2020), Subjek yang Terlupa

  Anthony menghadapi permasalahan penuaan yang cukup ironis. Ia dibingungkan dengan memorinya sendiri. Ia tidak dapat lagi membedakan siapa, di mana, kapan, dan bagaimana kehidupannya berlalu. Semuanya kacau. Tiba-tiba saja anaknya yang pamit ke Paris muncul dengan sosok yang berbeda. Tiba-tiba saja ia menjumpai sosok menantu yang entah dari mana asalnya. Tiba-tiba saja ia berada di apartemen yang berbeda. Tiba-tiba saja ia tinggal di sebuah panti bersama para perawat. Dalam kebingungan, muncul rasa jengkel, marah, sedih, bahagia, dan pasrah. Film yang sederhana dalam tema namun tidak sederhana dalam merangkai cerita. Bahkan hingga akhir film, penonton pun tidak dapat menemukan mana kehidupan Anthony yang sesungguhnya. Semuanya tumpang tindih campur aduk menjadi satu. Menertawakan Anthony berarti juga menertawakan diri kita sendiri. Menemukan kembali subjek itu memang tidak mudah. Kalau Lacan menerangkan perjumpaan bayi dengan cermin untuk menemukan realitas dirinya, film ini menggamba

Nomadland (2020), Kisah Para Pencari Surga

  Bukankah manusia tercipta pertama kali di alam kebebasan dan tidak berumah? Demikianlah bagaimana film ini mencoba untuk menggambarkan para “pengembara” di Amerika Serikat yang kembali menghayati kehidupan nan bebas bersama mobil van mereka. Bangunan rumah hanyalah kurungan yang mendomestikkan manusia sehingga seringkali kehilangan naluri “kemanusiaannya”. Para pengembara ( nomadland ) di Amerika Serikat membangun sebuah komunitas kekeluargaan yang sangat intim dan dinamis. Sebuah kehidupan yang tidak lazim. Namun inilah gerakan subkultur yang menjadi kritik kemapanan manusia rumahan. Mereka tidak lagi melihat suatu benda dari batasan nilai mata uang, namun dari nilai kenangan yang tak terbatas. Dari sinilah mereka menukarkan barang yang mereka miliki dengan barang sesama pengembara. Mereka bertukar narasi yang tak terbatas oleh nilai mata uang. Oleh karenanya mereka memilih disebut sebagai “ houseless ”. Bukan “ homeless ”. Mereka memang tidak memiliki bangunan untuk ditinggali. Nam

Memories Of Matsuko (2006), Warna-warni Kegelapan

  Siapa yang menyangka, Matsuko, gadis cantik bersuara merdu menjalani kehidupan yang kelam? Berawal dari profesinya sebagai seorang guru SMP yang menghadapi kenakalan anak didiknya, Matsulo harus meninggalkan sekolahan. Ia pun menjadi penyanyi cafe, wanita penghibur, penata rambut, hingga sindikat narkoba. Ia berpindah dari kekasih satu kepada kekasih yang lain. Ia menikmati walau tersakiti. Adalah Sho, keponakan Matsuko yang merangkai cerita memori kehidupan bibinya setelah meninggal di usia 55 tahun. Ia mengumpulkan kepingan-kepingan memori Matsuko sepanjang kariernya hingga dibunuh dengan tragis. Kehidupan yang gelap dihadirkan dengan gemerlap melalui film ini. Menyaksikan film ini mengingatkan kita akan film Amelie. Cerita yang kelam dihadirkan dengan penuh keceriaan. Tanpa sadar film ini mengajak kita untuk melihat segala sesuatu dengan keceriaan. Dalam situasi apapun Matsuko menyelipkan “wajah jelek”nya untuk menghibur kita. Perjalanan hidup memang gelap dan berliku, namun sem