Langsung ke konten utama

Farewell My Concubine, Sejarah Kelam Opera China




Film ini mengangkat perjalanan opera tradisional China yang menembus lorong sejarah revolusi komunis di China dari tahun 40-an hingga 60-an. Dikisahkan dua orang yang telah berlatih opera China bersama sejak kecil di sebuah padepokan, menjalani hari-hari sebagai aktor panggung dan juga manusia biasa di luar panggung. Dieyl memerankan seorang selir dan Xiaolou memerankan seorang raja (keduanya adalah laki-laki). Farewell My Concubine adalah lakon yang seringkali mereka bawakan di panggung. Melalui lakon inilah mereka menjadi bintang panggung yang disanjung dan dihormati. Puncak kesuksesan mereka diuji dengan hadirnya Juaxian, seorang pelacur yang mampu merebut hati Xiaolou. Terperciklah api cemburu dalam diri Dieyl. Bagi Dieyl, dirinya dan Xialou adalah pasangan Raja dan selir yang juga harus hidup bersama bukan hanya di apanggung tapi juga di dunia nyata.

Perjalanan sejarah China pun menempa kebersamaan mereka baik di atas panggung ataupun di luar panggung. Ketika Jepang datang dan menaklukkan China, Dieyl harus rela menghibur para tentara Jepang demi menyelamatkan Xiaolou yang ditahan. Inilah yang membuat Dieyl dianggap sebagai pengkhianat perjuangan nasionalis. Setelah Jepang takluk, Dieyl pun diadili dan dianggap sebagai antek-antek Jepang. Permasalahan memuncak ketika terjadi revolusi kebudayaan di China. Ideologi komunisme yang ditegakkan berdampak kepada pemusnahan segala sesuatu yang berhubungan dengan kaplitalisme, termasuk di dalamnya opera China sebagai hiburan para bangsawan. Opera China pun dilarang untuk tampil. Dieyl dan Xiaolou mau tidak mau harus tunduk kepada ideologi komunisme yang telah membekukan darah seni mereka.

Dalam film ini tersirat pesan bahwa seni adalah objek dari politik dan pasar. Idealisme seni itu hanya ada dalam sebuah ruang tertutup tanpa diketahui banyak orang. Ketika telah menjadi hiburan publik, seni telah melacurkan dirinya kepada politik dan pasar. Meskipun demikian, idealisme seni tidak akan pernah mati. Ketika revolusi budaya terjadi di China, pemerintah melarang pementasan opera China. Tapi ini tidak memadamkan bara seni dalam diri Dieryl dan Xiaolou. Puluhan tahun kemudian, Dieyl dan Xiaolou kembali dengan idealisme mereka, membangkitkan opera China dari kematian suri. Politik dan pasar adalah subjek yang selalu mengerdilkan seni. Tapi di dalam diri seniman sejati, seni adalah kehidupan itu sendiri.

Salam Sinema!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

The Father (2020), Subjek yang Terlupa

  Anthony menghadapi permasalahan penuaan yang cukup ironis. Ia dibingungkan dengan memorinya sendiri. Ia tidak dapat lagi membedakan siapa, di mana, kapan, dan bagaimana kehidupannya berlalu. Semuanya kacau. Tiba-tiba saja anaknya yang pamit ke Paris muncul dengan sosok yang berbeda. Tiba-tiba saja ia menjumpai sosok menantu yang entah dari mana asalnya. Tiba-tiba saja ia berada di apartemen yang berbeda. Tiba-tiba saja ia tinggal di sebuah panti bersama para perawat. Dalam kebingungan, muncul rasa jengkel, marah, sedih, bahagia, dan pasrah. Film yang sederhana dalam tema namun tidak sederhana dalam merangkai cerita. Bahkan hingga akhir film, penonton pun tidak dapat menemukan mana kehidupan Anthony yang sesungguhnya. Semuanya tumpang tindih campur aduk menjadi satu. Menertawakan Anthony berarti juga menertawakan diri kita sendiri. Menemukan kembali subjek itu memang tidak mudah. Kalau Lacan menerangkan perjumpaan bayi dengan cermin untuk menemukan realitas dirinya, film ini menggamba

Nomadland (2020), Kisah Para Pencari Surga

  Bukankah manusia tercipta pertama kali di alam kebebasan dan tidak berumah? Demikianlah bagaimana film ini mencoba untuk menggambarkan para “pengembara” di Amerika Serikat yang kembali menghayati kehidupan nan bebas bersama mobil van mereka. Bangunan rumah hanyalah kurungan yang mendomestikkan manusia sehingga seringkali kehilangan naluri “kemanusiaannya”. Para pengembara ( nomadland ) di Amerika Serikat membangun sebuah komunitas kekeluargaan yang sangat intim dan dinamis. Sebuah kehidupan yang tidak lazim. Namun inilah gerakan subkultur yang menjadi kritik kemapanan manusia rumahan. Mereka tidak lagi melihat suatu benda dari batasan nilai mata uang, namun dari nilai kenangan yang tak terbatas. Dari sinilah mereka menukarkan barang yang mereka miliki dengan barang sesama pengembara. Mereka bertukar narasi yang tak terbatas oleh nilai mata uang. Oleh karenanya mereka memilih disebut sebagai “ houseless ”. Bukan “ homeless ”. Mereka memang tidak memiliki bangunan untuk ditinggali. Nam

Memories Of Matsuko (2006), Warna-warni Kegelapan

  Siapa yang menyangka, Matsuko, gadis cantik bersuara merdu menjalani kehidupan yang kelam? Berawal dari profesinya sebagai seorang guru SMP yang menghadapi kenakalan anak didiknya, Matsulo harus meninggalkan sekolahan. Ia pun menjadi penyanyi cafe, wanita penghibur, penata rambut, hingga sindikat narkoba. Ia berpindah dari kekasih satu kepada kekasih yang lain. Ia menikmati walau tersakiti. Adalah Sho, keponakan Matsuko yang merangkai cerita memori kehidupan bibinya setelah meninggal di usia 55 tahun. Ia mengumpulkan kepingan-kepingan memori Matsuko sepanjang kariernya hingga dibunuh dengan tragis. Kehidupan yang gelap dihadirkan dengan gemerlap melalui film ini. Menyaksikan film ini mengingatkan kita akan film Amelie. Cerita yang kelam dihadirkan dengan penuh keceriaan. Tanpa sadar film ini mengajak kita untuk melihat segala sesuatu dengan keceriaan. Dalam situasi apapun Matsuko menyelipkan “wajah jelek”nya untuk menghibur kita. Perjalanan hidup memang gelap dan berliku, namun sem