Langsung ke konten utama

Not One Less (1999), Sebuah Potret tentang Ketimpangan




Betapa beratnya ketika Wei, seorang gadis belia berumur 13 tahun di desa terpencil China, diminta menggantikan mengajar 28 anak sekolah dasar selama sebulan karena ditinggal gurunya ke luar kota? Usia yang masih begitu belia membuat Wei canggung untuk mengajar. Kemampuannya untuk berbicara dan mengatur anak-anak masih sangatlah kurang. Kharisma seorang guru pun sama sekali belum muncul dalam diri Wei. Ditambah lagi, ia harus menjaga 28 anak yang belajar agar jangan sampai ada yang keluar dari sekolahan. Tantangan sosial ekonomi pada waktu itu adalah banyaknya anak yang mau tidak mau harus meninggalkan bangku sekolah dan bekerja ke kota untuk membantu orang tua mencari uang.

Yang ditakutkan Wei pun terjadi juga. Zhang, salah satu murid Wei, harus putus sekolah dan pergi ke kota untuk bekerja demi menutup hutang keluarga. Guru Wei pun berniat untuk mencari Zhang ke kota. Pencarian Zhang di kota adalah sebuah petualangan yang penuh drama dan air mata. Guru Wei diperhadapkan kepada kenyataan yang baru pertama kalinya dijumpai : kehidupan kota yang begitu ramai dengan kemajuan jaman yang sangat kontras dari desanya. Tapi ternyata di antara kerasnya kehidupan kota, masih ada orag-orang berhati mulia yang membantu guru Wei berjumpa dengan Zhang.

Film ini adalah kritik akan pembangunan yang tidak merata di negeri China. Kontras antara kehidupan desa yang masih tradisional dengan kehidupan kota yang modern menjadi kekuatan film ini. Ketimpangan sosial berdampak kepada pendidikan. Anak-anak lebih memilih bekerja daripada belajar karena tuntutan kehidupan. Potret kesenjangan sosial-ekonomi bukan hanya gambaran di negara China saja. Inilah potret kehidupan bersama, di mana pendidikan seringkali tergerus dan terabaikan oleh kepentingan sosial, politik, dan ekonomi. Film ini mengingatkan kita akan novel Laskar Pelangi yang mengisahkan keterbatasan sarana prasarana pendidikan di daerah pertambangan yang sebenarnya sangatlah kaya. Film yang memaksa mata kita untuk melihat realita dunia pendidikan yang amburadul.

Not One Less berhasil menampilkan sebuah karya yang menggetarkan dengan sajian yang sederhana, tanpa drama-drama lebay. Awalnya saya mengira di film ini nanti ada perjumpaan Guru Wey dengan Zhang yang didramatisir dengan gerak lambat, suara musik yang menyentuh, mereka berlari, berpelukan, menangis... Tapi ternyata tidak. Film yang polos, jujur, dan apa adanya. Tapi dalam kesederhanaan itulah tersirat pesan moral dan kritik yang sangat kuat.

Salam sinema!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

The Father (2020), Subjek yang Terlupa

  Anthony menghadapi permasalahan penuaan yang cukup ironis. Ia dibingungkan dengan memorinya sendiri. Ia tidak dapat lagi membedakan siapa, di mana, kapan, dan bagaimana kehidupannya berlalu. Semuanya kacau. Tiba-tiba saja anaknya yang pamit ke Paris muncul dengan sosok yang berbeda. Tiba-tiba saja ia menjumpai sosok menantu yang entah dari mana asalnya. Tiba-tiba saja ia berada di apartemen yang berbeda. Tiba-tiba saja ia tinggal di sebuah panti bersama para perawat. Dalam kebingungan, muncul rasa jengkel, marah, sedih, bahagia, dan pasrah. Film yang sederhana dalam tema namun tidak sederhana dalam merangkai cerita. Bahkan hingga akhir film, penonton pun tidak dapat menemukan mana kehidupan Anthony yang sesungguhnya. Semuanya tumpang tindih campur aduk menjadi satu. Menertawakan Anthony berarti juga menertawakan diri kita sendiri. Menemukan kembali subjek itu memang tidak mudah. Kalau Lacan menerangkan perjumpaan bayi dengan cermin untuk menemukan realitas dirinya, film ini menggamba

Nomadland (2020), Kisah Para Pencari Surga

  Bukankah manusia tercipta pertama kali di alam kebebasan dan tidak berumah? Demikianlah bagaimana film ini mencoba untuk menggambarkan para “pengembara” di Amerika Serikat yang kembali menghayati kehidupan nan bebas bersama mobil van mereka. Bangunan rumah hanyalah kurungan yang mendomestikkan manusia sehingga seringkali kehilangan naluri “kemanusiaannya”. Para pengembara ( nomadland ) di Amerika Serikat membangun sebuah komunitas kekeluargaan yang sangat intim dan dinamis. Sebuah kehidupan yang tidak lazim. Namun inilah gerakan subkultur yang menjadi kritik kemapanan manusia rumahan. Mereka tidak lagi melihat suatu benda dari batasan nilai mata uang, namun dari nilai kenangan yang tak terbatas. Dari sinilah mereka menukarkan barang yang mereka miliki dengan barang sesama pengembara. Mereka bertukar narasi yang tak terbatas oleh nilai mata uang. Oleh karenanya mereka memilih disebut sebagai “ houseless ”. Bukan “ homeless ”. Mereka memang tidak memiliki bangunan untuk ditinggali. Nam

Memories Of Matsuko (2006), Warna-warni Kegelapan

  Siapa yang menyangka, Matsuko, gadis cantik bersuara merdu menjalani kehidupan yang kelam? Berawal dari profesinya sebagai seorang guru SMP yang menghadapi kenakalan anak didiknya, Matsulo harus meninggalkan sekolahan. Ia pun menjadi penyanyi cafe, wanita penghibur, penata rambut, hingga sindikat narkoba. Ia berpindah dari kekasih satu kepada kekasih yang lain. Ia menikmati walau tersakiti. Adalah Sho, keponakan Matsuko yang merangkai cerita memori kehidupan bibinya setelah meninggal di usia 55 tahun. Ia mengumpulkan kepingan-kepingan memori Matsuko sepanjang kariernya hingga dibunuh dengan tragis. Kehidupan yang gelap dihadirkan dengan gemerlap melalui film ini. Menyaksikan film ini mengingatkan kita akan film Amelie. Cerita yang kelam dihadirkan dengan penuh keceriaan. Tanpa sadar film ini mengajak kita untuk melihat segala sesuatu dengan keceriaan. Dalam situasi apapun Matsuko menyelipkan “wajah jelek”nya untuk menghibur kita. Perjalanan hidup memang gelap dan berliku, namun sem