Sebenarnya sama sekali tidak ada niat untuk menuliskan
catatan tentang film ini. Tapi ketika mendengar kabar sang maestro hujan telah
berpulang, tergeraklah untuk mengingat dan menuliskan kembali serpihan karyanya
yang diabadikan melalui sebuah film : Hujan Bulan Juni.
Dari puisi, kemudian ditulislah novel. Dari novel,
dihidupkan menjadi film. Sayang, ada banyak hal yang mengecewakan dari film ini
ketika kita lebih dahulu membaca puisi dan novel pak Sapardi. Puisinya begitu
bersahaja. Novelnya begitu humanis. Namun ketika tertuang menjadi film, entah
kenapa daya mistis karya beliau sirna.
Adalah sebuah kisah roman tentang Sarwono dan Pingkan.
Sarwono orang Solo, sedangkan Pingkan gadis berdarah Jawa-Manado. Sarwono
Islam, Pingkan Kristen. Kisah cinta mereka dibalut dengan puisi-puisi yang dituliskan
oleh Sarwono. Bumbu percintaan mereka adalah hadirnya Kyoto, mahasiswa program
tukar budaya asal Jepang yang menjadi orang ketiga. Sayangnya pergumulan kritis
Pak Sapardi yang tertulis di dalam novelnya tentang agama dan budaya tidak dijumpai
di film ini. Dalam novelnya, Pak Sapardi mengungkapkan pola pikir orang Jawa
yang kelihatannya kisruh/ruwet tapi sebenarnya sederhana. Di sisi yang lain
orang Manado yang terkesan sederhana tetapi sebenarnya ruwet. Orang Jawa
memahami siapa itu Gusti, Pangeran, Kanjeng, Gusti Yesus, Kanjeng Nabi...
dengan luwes dan entheng meskipun di dalamnya terdapat makna yang sangat
membingungkan. Pemikiran kritis seperti inilah yang hilang dari film Hujan
Bulan Juni.
Film ini hanya memaparkan kulit dari novel pak Sapardi saja.
Hanya menceritakan cinta-cintaannya Sarwono dan Pingkan saja. Isi dari novelnya
malah kabur, tidak ketemu. Padahal justru yang penting adalah pemikiran kritis
Pak Sapardi yang melihat budaya Jawa dan Manado dari sudut pandang antropologi.
Kritik tentang perjodohan adat, kritik tentang larangan nikah beda agama yang
dijumpai di dalam novel sayang sekali ditiadakan dalam film.
Hiburan yang dijumpai dari film ini adalah munculnya pak
Sapardi sebagai cameo. Beliau berperan
sebagai ayah dari Sarwono. Sudah sangat sepuh. Pak Sapardi berdialog dengan
Sarwono di sebuah ruangan dengan dekorasi wayang dan secangkir teh di meja. Cukup
terkejut dengan dialog beliau, “Sontoloyo...
untuk Pingkan? Pingkan wis mulih?” Suasana dan dialog yang seperti inilah yang
semestinya mewarnai film Hujan Bulan Juni. Wilujeng
kondur, Pak Sapardi. Bulan Juni telah berlalu dan hujanmu kan abadi.
Salam sinema!!!
Komentar
Posting Komentar