Langsung ke konten utama

Hujan Bulan Juni (2017), Hujanmu Abadi, Pak Sapardi...




Sebenarnya sama sekali tidak ada niat untuk menuliskan catatan tentang film ini. Tapi ketika mendengar kabar sang maestro hujan telah berpulang, tergeraklah untuk mengingat dan menuliskan kembali serpihan karyanya yang diabadikan melalui sebuah film : Hujan Bulan Juni.

Dari puisi, kemudian ditulislah novel. Dari novel, dihidupkan menjadi film. Sayang, ada banyak hal yang mengecewakan dari film ini ketika kita lebih dahulu membaca puisi dan novel pak Sapardi. Puisinya begitu bersahaja. Novelnya begitu humanis. Namun ketika tertuang menjadi film, entah kenapa daya mistis karya beliau sirna.

Adalah sebuah kisah roman tentang Sarwono dan Pingkan. Sarwono orang Solo, sedangkan Pingkan gadis berdarah Jawa-Manado. Sarwono Islam, Pingkan Kristen. Kisah cinta mereka dibalut dengan puisi-puisi yang dituliskan oleh Sarwono. Bumbu percintaan mereka adalah hadirnya Kyoto, mahasiswa program tukar budaya asal Jepang yang menjadi orang ketiga. Sayangnya pergumulan kritis Pak Sapardi yang tertulis di dalam novelnya tentang agama dan budaya tidak dijumpai di film ini. Dalam novelnya, Pak Sapardi mengungkapkan pola pikir orang Jawa yang kelihatannya kisruh/ruwet tapi sebenarnya sederhana. Di sisi yang lain orang Manado yang terkesan sederhana tetapi sebenarnya ruwet. Orang Jawa memahami siapa itu Gusti, Pangeran, Kanjeng, Gusti Yesus, Kanjeng Nabi... dengan luwes dan entheng meskipun di dalamnya terdapat makna yang sangat membingungkan. Pemikiran kritis seperti inilah yang hilang dari film Hujan Bulan Juni.

Film ini hanya memaparkan kulit dari novel pak Sapardi saja. Hanya menceritakan cinta-cintaannya Sarwono dan Pingkan saja. Isi dari novelnya malah kabur, tidak ketemu. Padahal justru yang penting adalah pemikiran kritis Pak Sapardi yang melihat budaya Jawa dan Manado dari sudut pandang antropologi. Kritik tentang perjodohan adat, kritik tentang larangan nikah beda agama yang dijumpai di dalam novel sayang sekali ditiadakan dalam film.

Hiburan yang dijumpai dari film ini adalah munculnya pak Sapardi sebagai cameo. Beliau berperan sebagai ayah dari Sarwono. Sudah sangat sepuh. Pak Sapardi berdialog dengan Sarwono di sebuah ruangan dengan dekorasi wayang dan secangkir teh di meja. Cukup terkejut dengan dialog beliau, “Sontoloyo... untuk Pingkan? Pingkan wis mulih?” Suasana dan dialog yang seperti inilah yang semestinya mewarnai film Hujan Bulan Juni. Wilujeng kondur, Pak Sapardi. Bulan Juni telah berlalu dan hujanmu kan abadi.

Salam sinema!!!



Komentar

Postingan populer dari blog ini

The Father (2020), Subjek yang Terlupa

  Anthony menghadapi permasalahan penuaan yang cukup ironis. Ia dibingungkan dengan memorinya sendiri. Ia tidak dapat lagi membedakan siapa, di mana, kapan, dan bagaimana kehidupannya berlalu. Semuanya kacau. Tiba-tiba saja anaknya yang pamit ke Paris muncul dengan sosok yang berbeda. Tiba-tiba saja ia menjumpai sosok menantu yang entah dari mana asalnya. Tiba-tiba saja ia berada di apartemen yang berbeda. Tiba-tiba saja ia tinggal di sebuah panti bersama para perawat. Dalam kebingungan, muncul rasa jengkel, marah, sedih, bahagia, dan pasrah. Film yang sederhana dalam tema namun tidak sederhana dalam merangkai cerita. Bahkan hingga akhir film, penonton pun tidak dapat menemukan mana kehidupan Anthony yang sesungguhnya. Semuanya tumpang tindih campur aduk menjadi satu. Menertawakan Anthony berarti juga menertawakan diri kita sendiri. Menemukan kembali subjek itu memang tidak mudah. Kalau Lacan menerangkan perjumpaan bayi dengan cermin untuk menemukan realitas dirinya, film ini menggamba

Nomadland (2020), Kisah Para Pencari Surga

  Bukankah manusia tercipta pertama kali di alam kebebasan dan tidak berumah? Demikianlah bagaimana film ini mencoba untuk menggambarkan para “pengembara” di Amerika Serikat yang kembali menghayati kehidupan nan bebas bersama mobil van mereka. Bangunan rumah hanyalah kurungan yang mendomestikkan manusia sehingga seringkali kehilangan naluri “kemanusiaannya”. Para pengembara ( nomadland ) di Amerika Serikat membangun sebuah komunitas kekeluargaan yang sangat intim dan dinamis. Sebuah kehidupan yang tidak lazim. Namun inilah gerakan subkultur yang menjadi kritik kemapanan manusia rumahan. Mereka tidak lagi melihat suatu benda dari batasan nilai mata uang, namun dari nilai kenangan yang tak terbatas. Dari sinilah mereka menukarkan barang yang mereka miliki dengan barang sesama pengembara. Mereka bertukar narasi yang tak terbatas oleh nilai mata uang. Oleh karenanya mereka memilih disebut sebagai “ houseless ”. Bukan “ homeless ”. Mereka memang tidak memiliki bangunan untuk ditinggali. Nam

Memories Of Matsuko (2006), Warna-warni Kegelapan

  Siapa yang menyangka, Matsuko, gadis cantik bersuara merdu menjalani kehidupan yang kelam? Berawal dari profesinya sebagai seorang guru SMP yang menghadapi kenakalan anak didiknya, Matsulo harus meninggalkan sekolahan. Ia pun menjadi penyanyi cafe, wanita penghibur, penata rambut, hingga sindikat narkoba. Ia berpindah dari kekasih satu kepada kekasih yang lain. Ia menikmati walau tersakiti. Adalah Sho, keponakan Matsuko yang merangkai cerita memori kehidupan bibinya setelah meninggal di usia 55 tahun. Ia mengumpulkan kepingan-kepingan memori Matsuko sepanjang kariernya hingga dibunuh dengan tragis. Kehidupan yang gelap dihadirkan dengan gemerlap melalui film ini. Menyaksikan film ini mengingatkan kita akan film Amelie. Cerita yang kelam dihadirkan dengan penuh keceriaan. Tanpa sadar film ini mengajak kita untuk melihat segala sesuatu dengan keceriaan. Dalam situasi apapun Matsuko menyelipkan “wajah jelek”nya untuk menghibur kita. Perjalanan hidup memang gelap dan berliku, namun sem