Langsung ke konten utama

A Separation (2011), Konflik yang Artistik




Film ini mengisahkan munculnya masalah di tengah masalah yang dihadapi oleh pasangan Nader dan Simin. Saat mereka bergumul dengan proses perceraian, timbullah masalah baru di mana Nader dituntut atas tindak kekerasan terhadap Razieh, pembantu yang baru beberapa hari bekerja di rumahnya. Nader dituntut di pengadilan setelah Razieh terjatuh dari tangga dan mengalami keguguran. Di tengah ketidakharmonisan Nader dan Simin, mereka harus bersinergi untuk menghadapi tuntutan tindak kekerasan kepada Razieh.

Film dari negara Iran ini menggambarkan permasalahan yang muncul dari dua keluarga dari kelas yang berbeda. Keluarga Nader adalah keluarga kelas ekonomi menengah dan keluarga Razieh adalah keluarga kelas ekonomi bawah. Ketidakadilan sebenarnya telah dimunculkan saat pertama kali Razieh melamar menjadi pembantu. Razieh mendapat upah yang tidak sepadan dengan pekerjaan serta jauhnya perjalanan yang ditempuh menuju apartemen Nader. Ia harus mengasuh ayah Nader yang menderita penyakit alzheimer (melemahnya fungsi otak). Razieh tidak punya pilihan akan pekerjaannya. Mau tidak mau ia harus bekerja mencari uang untuk melunasi hutang, karena suaminya menganggur. Demikianlah permasalahan keluarga kelas ekonomi bawah yang masih mempermasalahkan kebutuhan hidup. Bukan keinginan hidup, seperti apa yang dihadapi Nader dan Simin dalam proses perceraian mereka. Ini mengingatkan kita akan sebuah humor satir khas orang Jawa tentang makan dan kelas ekonomi. Kalau mereka kelas ekonomi bawah seperti keluarga Razieh pertanyaannya, "sesuk mangan apa?" (besok makan apa?) Ketika naik ke kelas ekonomi sedang, seperti keluarga Nader, pertanyaannya berganti, "sesuk mangan neng ndi?" (besok makan di mana?) Dan di kelas ekonomi atas, pertanyaannya menjadi "sesuk mangan sapa?" (besok makan siapa?) Setiap kelas memiliki permasalahannya sendiri-sendiri.

Sebuah film yang sarat akan konflik. Adegan demi adegan diwarnai dengan emosi dan ketegangan. Konflik internal dan eksternal keluarga bersumber kepada kerasnya ego. Nader, Simin, Razieh, dan suami Razieh adalah pribadi yang keras. Namun film inipun mengangkat adanya dialog sebagai jembatan untuk mencari penyelesaian bersama. Dan lagi-lagi, “jalan damai bersama” itu adalah uang.

Salam Sinema!!!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

The Father (2020), Subjek yang Terlupa

  Anthony menghadapi permasalahan penuaan yang cukup ironis. Ia dibingungkan dengan memorinya sendiri. Ia tidak dapat lagi membedakan siapa, di mana, kapan, dan bagaimana kehidupannya berlalu. Semuanya kacau. Tiba-tiba saja anaknya yang pamit ke Paris muncul dengan sosok yang berbeda. Tiba-tiba saja ia menjumpai sosok menantu yang entah dari mana asalnya. Tiba-tiba saja ia berada di apartemen yang berbeda. Tiba-tiba saja ia tinggal di sebuah panti bersama para perawat. Dalam kebingungan, muncul rasa jengkel, marah, sedih, bahagia, dan pasrah. Film yang sederhana dalam tema namun tidak sederhana dalam merangkai cerita. Bahkan hingga akhir film, penonton pun tidak dapat menemukan mana kehidupan Anthony yang sesungguhnya. Semuanya tumpang tindih campur aduk menjadi satu. Menertawakan Anthony berarti juga menertawakan diri kita sendiri. Menemukan kembali subjek itu memang tidak mudah. Kalau Lacan menerangkan perjumpaan bayi dengan cermin untuk menemukan realitas dirinya, film ini menggamba

Nomadland (2020), Kisah Para Pencari Surga

  Bukankah manusia tercipta pertama kali di alam kebebasan dan tidak berumah? Demikianlah bagaimana film ini mencoba untuk menggambarkan para “pengembara” di Amerika Serikat yang kembali menghayati kehidupan nan bebas bersama mobil van mereka. Bangunan rumah hanyalah kurungan yang mendomestikkan manusia sehingga seringkali kehilangan naluri “kemanusiaannya”. Para pengembara ( nomadland ) di Amerika Serikat membangun sebuah komunitas kekeluargaan yang sangat intim dan dinamis. Sebuah kehidupan yang tidak lazim. Namun inilah gerakan subkultur yang menjadi kritik kemapanan manusia rumahan. Mereka tidak lagi melihat suatu benda dari batasan nilai mata uang, namun dari nilai kenangan yang tak terbatas. Dari sinilah mereka menukarkan barang yang mereka miliki dengan barang sesama pengembara. Mereka bertukar narasi yang tak terbatas oleh nilai mata uang. Oleh karenanya mereka memilih disebut sebagai “ houseless ”. Bukan “ homeless ”. Mereka memang tidak memiliki bangunan untuk ditinggali. Nam

Memories Of Matsuko (2006), Warna-warni Kegelapan

  Siapa yang menyangka, Matsuko, gadis cantik bersuara merdu menjalani kehidupan yang kelam? Berawal dari profesinya sebagai seorang guru SMP yang menghadapi kenakalan anak didiknya, Matsulo harus meninggalkan sekolahan. Ia pun menjadi penyanyi cafe, wanita penghibur, penata rambut, hingga sindikat narkoba. Ia berpindah dari kekasih satu kepada kekasih yang lain. Ia menikmati walau tersakiti. Adalah Sho, keponakan Matsuko yang merangkai cerita memori kehidupan bibinya setelah meninggal di usia 55 tahun. Ia mengumpulkan kepingan-kepingan memori Matsuko sepanjang kariernya hingga dibunuh dengan tragis. Kehidupan yang gelap dihadirkan dengan gemerlap melalui film ini. Menyaksikan film ini mengingatkan kita akan film Amelie. Cerita yang kelam dihadirkan dengan penuh keceriaan. Tanpa sadar film ini mengajak kita untuk melihat segala sesuatu dengan keceriaan. Dalam situasi apapun Matsuko menyelipkan “wajah jelek”nya untuk menghibur kita. Perjalanan hidup memang gelap dan berliku, namun sem