Langsung ke konten utama

A Beautiful Mind (2001), Berkawan dengan Imajinasi




John Forbes Nash adalah seorang ahli matematika yang gagasannya dijadikan dasar teori ekonomi kontemporer di dunia. Pada tahun 1994 ia meraih Nobel, sebuah penghargaan akan kiprahnya sebagai ahli ekonomi. Dalam film ini, John Nash dikisahkan memiliki gangguan kejiwaan yang sangat membebani hidupnya. John Nash memiliki dua orang teman khayalan dan seorang gadis kecil imajiner yang selalu hadir dalam kehidupannya. Kedua temannya ini mengajak John Nash untuk terlibat dalam konspirasi pemecahkan kode rahasia melawan Rusia. John Nash begitu bergairah dengan tantangan tersebut. Sayangnya ini semua hanyalah bayangan Nash semata. Tidak mudah bagi Nash untuk terlepas dari bayang-bayang teman ilusinya. Bahkan ketika menjalani terapi obat untuk menghilangkan imajinasinya, John Nash menolak. Ia lebih memilih hidup apa adanya, meskipun teman imajinasinya selalu menggoda untuk kembali terlibat dalam konspirasi kode rahasia.

Sebuah khayalan yang indah. Demikianlah konflik batin John Nash yang tersaji di film ini. Godaan untuk terlibat dalam imajinasi konspirasi kode rahasia memang sangatlah menggiurkan. Namun Nash harus mampu menepikan itu semua dan menjalani kehidupan nyata yang memang kurang menantang. Seorang antropolog bernama Yuval Noah Harari mengungkapkan satu hal yang menjadi kekuatan manusia sebagai makhluk sapiens adalah imajinasi. Imajinasi itu liar dan menggairahkan, melebihi dunia nyata. Itulah yang tergambar di film ini. Nash merasa kurang bersemangat ketika mengajar. Tapi ketika imajinasinya bermain, ia menjadi sosok yang penuh gairah memecahkan kode rahasia.

Bagi saya pribadi, ini film yang sangat penting! Saya menyaksikan film ini pada tahun 2001 bersamaan awal perkuliahan di teologia. Film ini menginspirasi beberapa tulisan, cerpen, naskah drama dan karya lain sang saya buat pada waktu itu. Bermain dengan imajinasi memang menggairahkan. Namun kita pun juga harus bisa membangun jembatan antara imajinasi dengan dunia kita yang nyata.

Salam Sinema!



Komentar

Postingan populer dari blog ini

The Father (2020), Subjek yang Terlupa

  Anthony menghadapi permasalahan penuaan yang cukup ironis. Ia dibingungkan dengan memorinya sendiri. Ia tidak dapat lagi membedakan siapa, di mana, kapan, dan bagaimana kehidupannya berlalu. Semuanya kacau. Tiba-tiba saja anaknya yang pamit ke Paris muncul dengan sosok yang berbeda. Tiba-tiba saja ia menjumpai sosok menantu yang entah dari mana asalnya. Tiba-tiba saja ia berada di apartemen yang berbeda. Tiba-tiba saja ia tinggal di sebuah panti bersama para perawat. Dalam kebingungan, muncul rasa jengkel, marah, sedih, bahagia, dan pasrah. Film yang sederhana dalam tema namun tidak sederhana dalam merangkai cerita. Bahkan hingga akhir film, penonton pun tidak dapat menemukan mana kehidupan Anthony yang sesungguhnya. Semuanya tumpang tindih campur aduk menjadi satu. Menertawakan Anthony berarti juga menertawakan diri kita sendiri. Menemukan kembali subjek itu memang tidak mudah. Kalau Lacan menerangkan perjumpaan bayi dengan cermin untuk menemukan realitas dirinya, film ini menggamba

Nomadland (2020), Kisah Para Pencari Surga

  Bukankah manusia tercipta pertama kali di alam kebebasan dan tidak berumah? Demikianlah bagaimana film ini mencoba untuk menggambarkan para “pengembara” di Amerika Serikat yang kembali menghayati kehidupan nan bebas bersama mobil van mereka. Bangunan rumah hanyalah kurungan yang mendomestikkan manusia sehingga seringkali kehilangan naluri “kemanusiaannya”. Para pengembara ( nomadland ) di Amerika Serikat membangun sebuah komunitas kekeluargaan yang sangat intim dan dinamis. Sebuah kehidupan yang tidak lazim. Namun inilah gerakan subkultur yang menjadi kritik kemapanan manusia rumahan. Mereka tidak lagi melihat suatu benda dari batasan nilai mata uang, namun dari nilai kenangan yang tak terbatas. Dari sinilah mereka menukarkan barang yang mereka miliki dengan barang sesama pengembara. Mereka bertukar narasi yang tak terbatas oleh nilai mata uang. Oleh karenanya mereka memilih disebut sebagai “ houseless ”. Bukan “ homeless ”. Mereka memang tidak memiliki bangunan untuk ditinggali. Nam

Memories Of Matsuko (2006), Warna-warni Kegelapan

  Siapa yang menyangka, Matsuko, gadis cantik bersuara merdu menjalani kehidupan yang kelam? Berawal dari profesinya sebagai seorang guru SMP yang menghadapi kenakalan anak didiknya, Matsulo harus meninggalkan sekolahan. Ia pun menjadi penyanyi cafe, wanita penghibur, penata rambut, hingga sindikat narkoba. Ia berpindah dari kekasih satu kepada kekasih yang lain. Ia menikmati walau tersakiti. Adalah Sho, keponakan Matsuko yang merangkai cerita memori kehidupan bibinya setelah meninggal di usia 55 tahun. Ia mengumpulkan kepingan-kepingan memori Matsuko sepanjang kariernya hingga dibunuh dengan tragis. Kehidupan yang gelap dihadirkan dengan gemerlap melalui film ini. Menyaksikan film ini mengingatkan kita akan film Amelie. Cerita yang kelam dihadirkan dengan penuh keceriaan. Tanpa sadar film ini mengajak kita untuk melihat segala sesuatu dengan keceriaan. Dalam situasi apapun Matsuko menyelipkan “wajah jelek”nya untuk menghibur kita. Perjalanan hidup memang gelap dan berliku, namun sem