Langsung ke konten utama

A.I. Artificial Intelligence (2001), Robot yang Manusiawi


Steven Spielberg adalah seorang produser dan sutradara kawakan dalam film-film bergenre sci-fi. Salah satu di antaranya adalah A.I. Artificial Intelligence. Film ini berkisah tentang sebuah robot anak laki-laki bernama David yang diciptakan dengan sensor yang begitu halus, hampir mendekati manusia. Robot itu tadinya diasuh oleh pasangan Henry dan Monica. Tapi ketika dirasakan David seringkali bermasalah dengan anaknya, Davidpun dibuang di hutan. Dari sinilah perjalanan David sebagai robot yang spesial mengejar impiannya dimulai, yaitu dapat hidup menjadi manusia biasa. Perjalanan David terinspirasi dongeng Pinokio yang juga mendambakan kehidupan yang normal sebagai manusia. Dalam perjalanan panjang yang ditempuh, David benar-benar menunjukkan bahwa dirinya robot istimewa yang memiliki perasaan seperti manusia. Ia merasa sedih, gembira, dan bahkan menemukan sosok Tuhan dalam diri patung peri biru di mana ia menyerahkan harapannya melalui doa. Dan doa itu terkabul dua ribu tahun kemudian melalui kehadiran alien di bumi.

 

A.I. adalah film keluarga yang dibalut dengan imajinasi robotik abad 22. Kekuatan film-film sci-fi garapan Spielberg adalah mampu menghidupkan makhluk imajiner menjadi sosok yang memiliki perasaan seperti manusia. Sentuhan kemanusiaannya sangatlah kuat. Walaupun robot, namun David memiliki kepekaan rasa dan harapan. Karya-karya Spielberg bukan hanya melihat sosok bukan manusia yang memiliki perasaan seperti manusia, tapi juga menampilkan sindiran bahwa manusia sendiri seringkali malah tidak manusiawi. Di film ini ada bagian yang menunjukkan manusia dengan keji menyiksa robot-robot bekas sebagai tontonan layaknya sirkus. Inilah dunia terbalik yang kerapkali ditampilkan Spielberg dalam film-filmnya. Sebutlah dengan hadirnya dinosaurus yang baik hati, alien yang lemah lembut, robot yang memiliki kepedulian, dan di sisi yang lain manusia digambarkan serakah serta tak punya nurani.

 

Teknologi terus berkembang. Sangat mungkin di abad 22 dijumpai fenomena robot yang hidup berdampingan dengan manusia seperti di film ini. Dan sangat mungkin pula kelak manusia harus belajar banyak tentang cinta kasih serta pengharapan iman dari robot ciptaan kita sendiri. Film ini mengajak kita untuk melihat betapa pesatnya pola pikir dan kemajuan teknologi yang telah manusia ciptakan. Namun kemajuan pengetahuan akan teknologi tersebut sayangnya berbanding terbalik dengan kepedulian dan rasa cinta kita terhadap sesama dan semesta.

 

Salam Sinema!!!

 

 

 

 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

The Father (2020), Subjek yang Terlupa

  Anthony menghadapi permasalahan penuaan yang cukup ironis. Ia dibingungkan dengan memorinya sendiri. Ia tidak dapat lagi membedakan siapa, di mana, kapan, dan bagaimana kehidupannya berlalu. Semuanya kacau. Tiba-tiba saja anaknya yang pamit ke Paris muncul dengan sosok yang berbeda. Tiba-tiba saja ia menjumpai sosok menantu yang entah dari mana asalnya. Tiba-tiba saja ia berada di apartemen yang berbeda. Tiba-tiba saja ia tinggal di sebuah panti bersama para perawat. Dalam kebingungan, muncul rasa jengkel, marah, sedih, bahagia, dan pasrah. Film yang sederhana dalam tema namun tidak sederhana dalam merangkai cerita. Bahkan hingga akhir film, penonton pun tidak dapat menemukan mana kehidupan Anthony yang sesungguhnya. Semuanya tumpang tindih campur aduk menjadi satu. Menertawakan Anthony berarti juga menertawakan diri kita sendiri. Menemukan kembali subjek itu memang tidak mudah. Kalau Lacan menerangkan perjumpaan bayi dengan cermin untuk menemukan realitas dirinya, film ini menggamba

Nomadland (2020), Kisah Para Pencari Surga

  Bukankah manusia tercipta pertama kali di alam kebebasan dan tidak berumah? Demikianlah bagaimana film ini mencoba untuk menggambarkan para “pengembara” di Amerika Serikat yang kembali menghayati kehidupan nan bebas bersama mobil van mereka. Bangunan rumah hanyalah kurungan yang mendomestikkan manusia sehingga seringkali kehilangan naluri “kemanusiaannya”. Para pengembara ( nomadland ) di Amerika Serikat membangun sebuah komunitas kekeluargaan yang sangat intim dan dinamis. Sebuah kehidupan yang tidak lazim. Namun inilah gerakan subkultur yang menjadi kritik kemapanan manusia rumahan. Mereka tidak lagi melihat suatu benda dari batasan nilai mata uang, namun dari nilai kenangan yang tak terbatas. Dari sinilah mereka menukarkan barang yang mereka miliki dengan barang sesama pengembara. Mereka bertukar narasi yang tak terbatas oleh nilai mata uang. Oleh karenanya mereka memilih disebut sebagai “ houseless ”. Bukan “ homeless ”. Mereka memang tidak memiliki bangunan untuk ditinggali. Nam

Memories Of Matsuko (2006), Warna-warni Kegelapan

  Siapa yang menyangka, Matsuko, gadis cantik bersuara merdu menjalani kehidupan yang kelam? Berawal dari profesinya sebagai seorang guru SMP yang menghadapi kenakalan anak didiknya, Matsulo harus meninggalkan sekolahan. Ia pun menjadi penyanyi cafe, wanita penghibur, penata rambut, hingga sindikat narkoba. Ia berpindah dari kekasih satu kepada kekasih yang lain. Ia menikmati walau tersakiti. Adalah Sho, keponakan Matsuko yang merangkai cerita memori kehidupan bibinya setelah meninggal di usia 55 tahun. Ia mengumpulkan kepingan-kepingan memori Matsuko sepanjang kariernya hingga dibunuh dengan tragis. Kehidupan yang gelap dihadirkan dengan gemerlap melalui film ini. Menyaksikan film ini mengingatkan kita akan film Amelie. Cerita yang kelam dihadirkan dengan penuh keceriaan. Tanpa sadar film ini mengajak kita untuk melihat segala sesuatu dengan keceriaan. Dalam situasi apapun Matsuko menyelipkan “wajah jelek”nya untuk menghibur kita. Perjalanan hidup memang gelap dan berliku, namun sem