Langsung ke konten utama

Aruna dan Lidahnya (2018), Ada Apa dengan Rawon??




Dalam film ini, makanan bukan hanya sebatas kebutuhan, tapi sudah menjadi gaya hidup. Makan bukan hanya untuk kenyang tapi untuk bahagia. Demikianlah petualangan empat orang : Aruna (Dian Sastro), Bono (Nicolas Saputra), Nad (Hannah Al Rashid), serta Farish (Oka Ananta) dalam meramu cinta beraroma kuliner di empat daerah : Surabaya, Pamekasan, Pontianak, dan Singkawang. Berawal dari penugasan Aruna dan Bono untuk menyelidiki kasus flu burung dari kantor ke empat kota tersebut, petualangan kuliner malah menjadi prioritas perjalanan mereka.

Dalam kisah percintaan segi empat antara Aruna, Bono, Nad, dan Farish, tersajilah ragam kuliner yang begitu menggoda. Rawon Surabaya, soto Lamongan, rujak soto, choi pan, bakmi kepiting Pontianak... semua tersaji silih berganti memikat hati. Film ini mirip dengan serial drama Korea Lets Eat yang tiap episodenya menjadikan makanan sebagai bagian dari pemecahan masalah. Makananlah yang mempersatukan keempat tokoh film ini dalam ikatan batin yang begitu kuat.

Di sisi yang lain, film ini memromosikan beragam kuliner Nusantara yang begitu khas. Dian Sastro dan Nicolas Saputra merupakan icon perfilman Indonesia yang telah sukses mengangkat tempat-tempat wisata di Yogyakarta dan Magelang menjadi begitu viral melalui film Ada Apa dengan Cinta 2. Di film itupun mereka mampu melambungkan makanan khas sate klathak sebagai wisata kuliner yang wajib dicicipi ketika berkunjung ke Yogyakarta. Harapan dari film Aruna dan Lidahnya tentu saja mengenalkan kepada masyarakat kekayaan kuliner Nusantara, terkhusus di daerah Surabaya, Pamekasan, dan Pontianak. Film inipun mengajarkan kita bukan hanya jajan ataupun membeli makanan di luar saja. Kitapun juga harus bisa menghargai makanan yang kita masak sendiri. Ketika kita merasakan ada yang kurang dari masakan kita, inilah waktu untuk belajar dan memperkaya pengetahuan dalam hal kuliner. Segala sesuatu membutuhkan proses. Memasak makanan yang cocok di lidahpun merupakan sebuah proses bagi kita untuk menggali misteri kehidupan yang akan memperkaya wacana kita.

Salam Sinema!!!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

The Father (2020), Subjek yang Terlupa

  Anthony menghadapi permasalahan penuaan yang cukup ironis. Ia dibingungkan dengan memorinya sendiri. Ia tidak dapat lagi membedakan siapa, di mana, kapan, dan bagaimana kehidupannya berlalu. Semuanya kacau. Tiba-tiba saja anaknya yang pamit ke Paris muncul dengan sosok yang berbeda. Tiba-tiba saja ia menjumpai sosok menantu yang entah dari mana asalnya. Tiba-tiba saja ia berada di apartemen yang berbeda. Tiba-tiba saja ia tinggal di sebuah panti bersama para perawat. Dalam kebingungan, muncul rasa jengkel, marah, sedih, bahagia, dan pasrah. Film yang sederhana dalam tema namun tidak sederhana dalam merangkai cerita. Bahkan hingga akhir film, penonton pun tidak dapat menemukan mana kehidupan Anthony yang sesungguhnya. Semuanya tumpang tindih campur aduk menjadi satu. Menertawakan Anthony berarti juga menertawakan diri kita sendiri. Menemukan kembali subjek itu memang tidak mudah. Kalau Lacan menerangkan perjumpaan bayi dengan cermin untuk menemukan realitas dirinya, film ini menggamba

Nomadland (2020), Kisah Para Pencari Surga

  Bukankah manusia tercipta pertama kali di alam kebebasan dan tidak berumah? Demikianlah bagaimana film ini mencoba untuk menggambarkan para “pengembara” di Amerika Serikat yang kembali menghayati kehidupan nan bebas bersama mobil van mereka. Bangunan rumah hanyalah kurungan yang mendomestikkan manusia sehingga seringkali kehilangan naluri “kemanusiaannya”. Para pengembara ( nomadland ) di Amerika Serikat membangun sebuah komunitas kekeluargaan yang sangat intim dan dinamis. Sebuah kehidupan yang tidak lazim. Namun inilah gerakan subkultur yang menjadi kritik kemapanan manusia rumahan. Mereka tidak lagi melihat suatu benda dari batasan nilai mata uang, namun dari nilai kenangan yang tak terbatas. Dari sinilah mereka menukarkan barang yang mereka miliki dengan barang sesama pengembara. Mereka bertukar narasi yang tak terbatas oleh nilai mata uang. Oleh karenanya mereka memilih disebut sebagai “ houseless ”. Bukan “ homeless ”. Mereka memang tidak memiliki bangunan untuk ditinggali. Nam

Memories Of Matsuko (2006), Warna-warni Kegelapan

  Siapa yang menyangka, Matsuko, gadis cantik bersuara merdu menjalani kehidupan yang kelam? Berawal dari profesinya sebagai seorang guru SMP yang menghadapi kenakalan anak didiknya, Matsulo harus meninggalkan sekolahan. Ia pun menjadi penyanyi cafe, wanita penghibur, penata rambut, hingga sindikat narkoba. Ia berpindah dari kekasih satu kepada kekasih yang lain. Ia menikmati walau tersakiti. Adalah Sho, keponakan Matsuko yang merangkai cerita memori kehidupan bibinya setelah meninggal di usia 55 tahun. Ia mengumpulkan kepingan-kepingan memori Matsuko sepanjang kariernya hingga dibunuh dengan tragis. Kehidupan yang gelap dihadirkan dengan gemerlap melalui film ini. Menyaksikan film ini mengingatkan kita akan film Amelie. Cerita yang kelam dihadirkan dengan penuh keceriaan. Tanpa sadar film ini mengajak kita untuk melihat segala sesuatu dengan keceriaan. Dalam situasi apapun Matsuko menyelipkan “wajah jelek”nya untuk menghibur kita. Perjalanan hidup memang gelap dan berliku, namun sem