Langsung ke konten utama

21 Grams (2003), Agama yang Memabukkan




Film ini menautkan tiga cerita menjadi satu rangkaian yang saling terkait. Salah satunya adalah cerita Jack Jordan yang mabuk agama. Jack adalah seorang mantan narapidana yang kemudian berkenalan dengan seorang pendeta. Melalui pendeta itulah Jack mengenal kehidupan gereja dan terlibat aktif di dalamnya. Namun perjumpaannya dengan gereja malah membuat dirinya sering tidak berpikir rasional. Pertautan kisah itu terjadi pada saat Jack menabrak seorang ayah bersama dua orang anaknya yang sedang menyeberang jalan. Jack pun menyerahkan diri kepada polisi dan ditahan. Orang yang ia tabrak mengalami kritis dan kemudian meninggal. Jantungnya didonorkan kepada seseorang yang nantinya menjadi kekasih istrinya.

Begitu runyam film ini. Pertautan tiga cerita itu tidak dirangkai secara linier namun secara acak dan terbolak-balik. Penonton harus menyusun sendiri kepingan-kepingan puzzle film 21 Grams menjadi satu rangkaian yang utuh.

Film ini dengan jelas menyindir agama yang bisa membuat pengikutnya mabuk dan lupa daratan. Jack yang “bertobat”, hidupnya malah menjadi kacau. Bahkan istrinya merindukan sosok Jack yang dulu, sebelum tenggelam dalam candu agama. Jack sering merasa apa yang ia lakukan itu adalah kehendak Tuhan, wahyu Allah, hidayah ilahi... Ayat-ayat Kitab Suci digunakan untuk alat membenarkan diri. Hingga pendeta yang mengenalkannya kepada kehidupan gereja pun kewalahan akan cara berpikir Jack yang dirasakan sudah tidak waras. Inilah kritik akan agama-agama yang tidak medatangkan damai tapi malah kecemasan dan ketakutan.

Lalu 21 gram itu apa? 21 gram adalah berat yang hilang dari tubuh manusia ketika mati. Ketika 21 gram itu pergi, ia akan membawa pergi juga kenangan yang tak ternilai harganya. Dan ketika 21 gram itu lenyap, akan datang berjuta harapan di depan kita.

Salam sinema!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

The Father (2020), Subjek yang Terlupa

  Anthony menghadapi permasalahan penuaan yang cukup ironis. Ia dibingungkan dengan memorinya sendiri. Ia tidak dapat lagi membedakan siapa, di mana, kapan, dan bagaimana kehidupannya berlalu. Semuanya kacau. Tiba-tiba saja anaknya yang pamit ke Paris muncul dengan sosok yang berbeda. Tiba-tiba saja ia menjumpai sosok menantu yang entah dari mana asalnya. Tiba-tiba saja ia berada di apartemen yang berbeda. Tiba-tiba saja ia tinggal di sebuah panti bersama para perawat. Dalam kebingungan, muncul rasa jengkel, marah, sedih, bahagia, dan pasrah. Film yang sederhana dalam tema namun tidak sederhana dalam merangkai cerita. Bahkan hingga akhir film, penonton pun tidak dapat menemukan mana kehidupan Anthony yang sesungguhnya. Semuanya tumpang tindih campur aduk menjadi satu. Menertawakan Anthony berarti juga menertawakan diri kita sendiri. Menemukan kembali subjek itu memang tidak mudah. Kalau Lacan menerangkan perjumpaan bayi dengan cermin untuk menemukan realitas dirinya, film ini menggamba

Nomadland (2020), Kisah Para Pencari Surga

  Bukankah manusia tercipta pertama kali di alam kebebasan dan tidak berumah? Demikianlah bagaimana film ini mencoba untuk menggambarkan para “pengembara” di Amerika Serikat yang kembali menghayati kehidupan nan bebas bersama mobil van mereka. Bangunan rumah hanyalah kurungan yang mendomestikkan manusia sehingga seringkali kehilangan naluri “kemanusiaannya”. Para pengembara ( nomadland ) di Amerika Serikat membangun sebuah komunitas kekeluargaan yang sangat intim dan dinamis. Sebuah kehidupan yang tidak lazim. Namun inilah gerakan subkultur yang menjadi kritik kemapanan manusia rumahan. Mereka tidak lagi melihat suatu benda dari batasan nilai mata uang, namun dari nilai kenangan yang tak terbatas. Dari sinilah mereka menukarkan barang yang mereka miliki dengan barang sesama pengembara. Mereka bertukar narasi yang tak terbatas oleh nilai mata uang. Oleh karenanya mereka memilih disebut sebagai “ houseless ”. Bukan “ homeless ”. Mereka memang tidak memiliki bangunan untuk ditinggali. Nam

Memories Of Matsuko (2006), Warna-warni Kegelapan

  Siapa yang menyangka, Matsuko, gadis cantik bersuara merdu menjalani kehidupan yang kelam? Berawal dari profesinya sebagai seorang guru SMP yang menghadapi kenakalan anak didiknya, Matsulo harus meninggalkan sekolahan. Ia pun menjadi penyanyi cafe, wanita penghibur, penata rambut, hingga sindikat narkoba. Ia berpindah dari kekasih satu kepada kekasih yang lain. Ia menikmati walau tersakiti. Adalah Sho, keponakan Matsuko yang merangkai cerita memori kehidupan bibinya setelah meninggal di usia 55 tahun. Ia mengumpulkan kepingan-kepingan memori Matsuko sepanjang kariernya hingga dibunuh dengan tragis. Kehidupan yang gelap dihadirkan dengan gemerlap melalui film ini. Menyaksikan film ini mengingatkan kita akan film Amelie. Cerita yang kelam dihadirkan dengan penuh keceriaan. Tanpa sadar film ini mengajak kita untuk melihat segala sesuatu dengan keceriaan. Dalam situasi apapun Matsuko menyelipkan “wajah jelek”nya untuk menghibur kita. Perjalanan hidup memang gelap dan berliku, namun sem