Setiap kisah kerajaan yang diangkat ke dalam novel, drama,
ataupun film hampir dipastikan akan dijumpai konflik pemberontakan. Bisa
dikatakan inilah konflik yang klasik dalam kisah kerajaan. Permasalahannya adalah
tinggal bagaimana mengemas konflik pemberontakan itu menjadi sajian yang memukau.
Seperti dalam film Curse of Golden Flower,
konflik hadir ketika Sang Permaisuri merencanakan pemberontakan kepada Kaisar,
suaminya sendiri. Dalam festival tahunan bunga Seruni, terjadilah kemelut pertumpahan
darah antara ribuan pasukan pemberontak Sang Permaisuri dengan tentara
kerajaan. Suasana film yang tadinya lengang berubah menjadi gaduh luar biasa.
Apa yang tersaji di film ini sebenarnya terlalu berlebihan. Nuansa
perang kolosal yang mencoba dibuat megah malah kurang mengena. Tiba-tiba saja
muncul ribuan tentara, lalu berperang, lalu salah satu pihak kalah, dan kembali
sepi lagi. Kalau dicermati durasi perang yang begitu gaduh itu hanya sepuluh
menit dari keseluruhan film. Perang yang disajikan malah justru terasa menjadi
antiklimaks dari film ini. Konflik yang
dibangun sejak awal sudah cukup bagus, namun perang di bagian akhir seolah
membuyarkan semuanya.
Sebenarnya alasan menyaksikan kembali film ini (sepuluh
tahun lalu sebenarnya sudah pernah menyaksikan film ini) adalah ingin melihat lagi
akting dari Gong Li yang memerankan Sang Permaisuri. Dan memang benar, film ini
hidup karena Gong Li! Sosok permaisuri tampil begitu dingin memendam luka
abadi. Ia hadir sebagai pemberontak, tapi bukan demi kekuasaan, melainkan untuk
menegakkan harga dirinya yang sudah terkoyak. Kurang gregetnya adegan perang
sedikit terhibur dengan keanggunan Gong Li yang memerankan permaisuri terluka.
Salam Sinema!!
Komentar
Posting Komentar